Senin 21 Dec 2020 16:28 WIB

ISIS di Suriah Belum Sepenuhnya Mati, Tempuh Perang Gerilya 

ISIS di Suriah melakukan perang gerilya yang membahayakan

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
ISIS di Suriah melakukan perang gerilya yang membahayakan. Gerakan ISIS (ilustrasi)
Foto: VOA
ISIS di Suriah melakukan perang gerilya yang membahayakan. Gerakan ISIS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, IDLIB— Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan dalam  laporan pada  (4/12), operasi militer sedang berlangsung di gurun Suriah antara pasukan pemerintah Suriah dan milisi yang setia pada mereka di satu sisi dan ISIS di sisi lain.  

Bentrokan antara kedua belah pihak sebagian besar terkonsentrasi di segitiga Aleppo-Hama-Raqqa dan di gurun Deir Ez-Zor dan Homs. Kelompok tersebut berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya di daerah tersebut dengan melanjutkan serangan, penyergapan, dan ledakan. 

Baca Juga

Sementara itu, pasukan pemerintah melakukan yang terbaik untuk membatasi aktivitas ISIS dengan dukungan Rusia melalui serangan udara yang intens. 

Menurut SOHR, karena Pasukan Demokratik Suriah (SDF) mengumumkan kendali mereka dari Desa Baghouz, benteng terakhir ISIS, pada 24 Maret 2019  dengan menelan nyawa 1.020 orang dari pasukan pemerintah dan para militan yang setia untuk mereka dari Suriah dan warga negara non-Suriah. 

Dua di antaranya adalah orang Rusia selain 140 orang dari milisi non-Suriah pro-Iran, semuanya meninggal selama serangan ISIS, pemboman dan penyergapan di barat Efrat, gurun Deir ez-Zor, Raqqa, Homs, dan Suwayda. Laporan itu juga menyebutkan 562 kematian di jajaran ISIS, selama periode yang sama. 

Khalil al-Muqdad, seorang peneliti urusan kelompok-kelompok ekstremis, yang saat ini tinggal di Qatar, mengatakan setelah kehilangan benteng terakhirnya di Baghouz, ISIS mengubah strateginya dan mengatur ulang barisannya dengan mengandalkan penyergapan dan perang gerilya untuk melenyapkan lawan.  

Grup dengan cepat mulai mengaktifkan kelompok dan anggotanya yang telah ditempatkan kembali di beberapa area. Mereka menargetkan anggota dan markas SDF yang memimpin kampanye melawan ISIS dengan dukungan udara dan logistik dari koalisi internasional dipimpim Amerika Serikat. 

Kelompok tersebut tampaknya tertarik untuk mengejar proses ini dan mempercepat langkahnya dengan menargetkan pemerintah Suriah dan milisi Iran, serta milisi sekutu, seperti Liwa al-Quds Brigade Yerusalem dan Pasukan Pertahanan Nasional. 

Dia berhasil menimbulkan kerugian besar pada barisan ISIS kemudian bergerak menyerang detasemen, barak tetap, dan pos penjagaan, terutama di sekitar ladang minyak. Eskalasi ini bertepatan dengan  peningkatan laju  dari operasi di Irak karena kelompok mereka juga ada yang melakukan strategi gerilya. 

Muqdad mencatat bahwa strategi gerilyawan ISIS adalah faktor paling menonjol yang memungkinkan mereka memilih sasaran secara akurat dan menyerang mereka dengan cara yang merusak dan mematikan. 

Dia mengatakan kelompok tersebut akan menyerang konvoi pemerintah sebelum kedatangan mereka yang menimbulkan kerugian besar dan membingungkan rencana ofensif karena hal itu menghilangkan keuntungan dari pengelompokan ulang dan reposisi. ISIS kemudian beralih ke strategi menyerang konvoi tanki minyak, membakar dan menghancurkan puluhan tank bahkan membunuh pengemudi.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement