Ahad 20 Dec 2020 12:54 WIB

Pergantian Pemain Liga Inggris dan Politik di Olahraga

Olahraga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas politik di dalamnya.

Winger Tottenham Hotspur Son Heung-min (kanan) ditarik keluar lapangan oleh pelatih Jose Mourinho.
Foto: EPA-EFE/Adam Davy
Winger Tottenham Hotspur Son Heung-min (kanan) ditarik keluar lapangan oleh pelatih Jose Mourinho.

Oleh : Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID,ID, Pertemuan perwakilan klub-klub Liga Primer Inggris pada Kamis (17/12), baru saja menghasilkan dua keputusan penting. Pertama soal pergantian ekstra bila ada pemain yang mengalami gegar otak akibat benturan di tengah permainan. Pelatih pemain tersebut bisa menggantinya dengan pemain lain walaupun sudah habis menggunakan jatah maksimal pergantian. Atau jika belum mengganti pemain, pergantian pada pemain gegar otak tersebut tak dihitung. Agar adil, tim lawan juga mendapatkan jatah pergantian tambahan.

Keputusan ini muncul sebagai respons atas kritikan terhadap protokol kesehatan terkait pemain yang baru mengalami benturan keras di kepala dan berisiko gegar otak. Sebagian besar pemain melanjutkan pertandingan dengan berbagai alasan. Ini dianggap membahayakan kondisi kesehatan pemain bersangkutan ke depan.

Contoh terdekat adalah saat bek Chelsea David Luiz beradu kepala dengan pemain Wolverhampton Wanderers Raul Jimenez. Jimenez dilarikan ke rumah sakit karena mengalami retak tulang tengkorak sementara Luiz masih terus bermain hingga akhirnya digantikan pada babak kedua.

Adapun keputusan lainnya adalah tidak mengubah jumlah pergantian pemain dalam satu pertandingan di Liga Primer Inggris. Sejumlah klub besar mengajukan proposal menambah jumlah pergantian menjadi lima seperti di Serie A Italia, La Liga Spanyol, dan Bundesliga Jerman. Namun proposal itu tak mendapatkan respons positif dari mayoritas kontestan kompetisi musim 2020/21. Alasan yang menolak, pergantian lima pemain hanya akan menguntungkan klub-klub kaya yang punya daftar pemain mentereng. 

Padahal dari sisi pengusul, pergantian lima pemain dibutuhkan untuk menghindarkan pemain dari risiko cedera yang makin tinggi seiring jadwal padat pertandingan di kompetisi domestik, kompetisi Eropa, maupun laga internasional. Kans Inggris untuk berprestasi di Piala Eropa 2020 yang akan berlangsung musim panas 2021 ikut dibawa-bawa untuk mendukung usulan ini. Para klub pendukung menilai dengan jatah pergantian sekarang, Inggris berisiko kehilangan pemain-pemain kunci saat Piala Eropa digelar nanti.

Dari sini, saya melihat, benarlah kiranya olahraga tak bisa dilepaskan dari aktivitas politik. Bahkan sekelas Liga Primer Inggris yang kita anggap kompetisi modern, kompetitif, dan sportif ini tak terlepas dari itu. Di sini, saya menggunakan definisi politik dari doktor asal Amerika Serikat, Harold Dwight Lasswell. Menurut Lasswell, politik adalah tentang siapa mendapat apa dengan cara bagaimana. Kolega Lasswell, David Easton menambahkan, politik melingkupi segala macam aktivitas yang mempengaruhi kebijakan yang dibuat otoritas.

Dalam kasus aturan pergantian pemain ini, faktor kepentingan berperan sebelum palu diketuk. Klub-klub pengusul mungkin saja benar-benar mempertimbangkan aspek kesehatan pemain saat meminta aturan lima pemain diterapkan. Namun tak bisa dipungkiri hasil akhirnya akan menguntungkan mereka dalam perlombaan menjadi yang terbaik di kompetisi.

Manchester City yang jadi salah satu pengusul misalnya, akan menjadi makin superior bila pergantian lima pemain diizinkan. Pemain dengan skill di atas rata-rata yang mereka miliki bisa berkontribusi lebih maksimal jika tidak dipaksa terus bermain. Saat kaki mereka sudah terlihat mulai melambat, pelatih Pep Guardiola bisa menggantikannya dengan pemain lain dengan kemampuan tak jauh berbeda sehingga tak menurunkan ritme permainan.

Alhasil keunggulan fisik tim-tim papan tengah hingga bawah yang punya waktu istirahat lebih banyak karena tak bermain di kompetisi Eropa atau pemainnya tidak dipanggil ke tim nasional menjadi tereduksi. Padahal keunggulan fisik inilah yang sekarang menjadi andalan dalam memberikan kejutan kepada klub-klub besarm di tengah gaya permainan menekan sejak berada di daerah lawan yang sekarang digemari hampir semua klub di Inggris.

Jadi, siapa pun yang akan jadi juara Liga Primer Inggris musim ini tak bisa dengan bangga mengatakan itu hasil perjuangan mereka 100 persen di lapangan. Sebab, ada lobi-lobi di atas meja yang entah kecil atau besar mengiringi setiap perjalanan mereka mengangkat trofi musim ini. Jika nantinya yang menang klub-klub pengusul, apresiasi lebih layak diberikan kepada mereka. Sebab di tengah upaya untuk memperlambat langkah menuju podium juara, mereka tetap mampu finis di tempat terbaik.

Di Asia, khusunya Indonesia, olahraga sangat erat dengan aktivitas politik. Hampir setiap tahun kita mendengar pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), pengurus Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), atau induk cabang olahraga (cabor) bergerilya di belakang layar menjelang multievent SEA Games, Asian Games, dan lainnya. Yang paling sering adalah memperjuangkan cabor beserta nomor-nomor andalan unggulan kita agar tetap dipertandingkan. Di sini, kita harus melobi negara-negara peserta untuk ikut mendukung. Timbal baliknya, bisa dukungan kepada negara lain tersebut yang mungkin juga butuh suara kita mengegolkan cabor andalannya. Atau sebaliknya, berusaha menjegal cabor unggulan pesaing agar tidak dimainkan sehingga memengaruhi dalam perhitungan medali.

Yang lebih ekstrem dari sekadar lobi di belakang layar dan terus berlanjut adalah sistem penilaian pada cabor tak terukur seperti bela diri, binaraga, atau lainnya. Olahragawan kita di cabor-cabor ini kerap 'dikerjai' jika berlaga di luar. Namun tak sedikit pula kasus keluhan negara lain diperlakukan serupa saat berlaga di sini. Entah deal politik apa sebelumnya yang berlangsung hingga membuat ini terjadi.

Praktik serupa di dalam negeri terjadi menjelang Pekan Olahraga Nasional (PON). Daerah yang punya hak menentukan cabor yang dipertandingkan biasanya berusaha mengeliminasi cabor-cabor andalan pesaing terdekat. Ini demi ambisi target 'sukses prestasi' selain 'sukses penyelenggara'.

Terbaru terjadi di kompetisi basket tertinggi Tanah Air, IBL. Mayoritas klub memberikan suara untuk menunda penggunaan pemain naturalisasi boleh bermain di kompetisi IBL 2021 dengan berbagai alasan yang berusaha dibuat masuk akal. Salah satu yang menjadi korban adalah Ebrahim Enguio Lopez, pemain naturalisasi berdarah Talaud, Indonesia-Filipina. Biboy, sapaanya, yang selangkah lagi dikontrak oleh klub NSH Mountain Gold Timika, mendapati kenyataan tak bisa bermain. Padahal, Biboy sebelumnya membantu timnas basket Indonesia meraih perak SEA Games 2015. Ia juga mewakili Indonesia dalam kejuaraan dunia FIBA 3x3 pada 2018.

Langkah klub-klub IBL ini dilawan oleh pergerakan politik para pecinta basket Indonesia di dunia maya. Mereka menggalang kampanye agar Biboy bisa diizinkan bermain di IBL musim depan. Entah apa hasil akhir dari langkah-langkah politik ini. Yang jelas, kita semakin paham bahwa juara ternyata sudah ditentukan sejak di belakang meja sebelum berkeringat di arena.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement