Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Pengamat Ungkap Penyebab Naiknya Tren Paslon Tunggal

Ahad 20 Dec 2020 10:35 WIB

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto

Emrus Sihombing (kiri), Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi (tengah), Direktur Indonesia Publik Institute Karyono Wibowo (kanan) berbicara saat menjadi narasumber diskusi publik di Jakarta, Jumat (19/9). (Republ

Emrus Sihombing (kiri), Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi (tengah), Direktur Indonesia Publik Institute Karyono Wibowo (kanan) berbicara saat menjadi narasumber diskusi publik di Jakarta, Jumat (19/9). (Republ

Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Tren kenaikan calon tunggal ini minimal disebabkan tiga faktor. 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute Karyono Wibowo memantau peningkatan tren pasangan calon (paslon) tunggal dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Karyono menyebut, salah satu faktor penyebabnya ialah beratnya syarat pencalonan dalam Pilkada 2020.

Karyono mengatakan, pada Pilkada 2015, calon tunggal terhitung hanya ada di tiga daerah. Jumlah ini naik menjadi 9 daerah (2017), 16 daerah (2018), dan 25 daerah pada Pilkada Serentak 2020. Tren kenaikan calon tunggal ini minimal disebabkan tiga faktor. 

"Pertama, ada legitimasi dalam regulasi dimana calon tunggal telah diatur dalam undang-undang Pilkada. Kedua, syarat pencalonan yang terbilang berat baik dari jalur partai maupun perseorangan," kata Karyono pada Republika, Ahad (20/12).

Kemudian faktor ketiga naiknya paslon tunggal, kata Karyono ada unsur kesengajaan, sebagai bagian dari strategi pemenangan. Dalam hal ini paslon sengaja "memborong" partai berkoalisi untuk mendukungnya. Hal inilan yang membuat sulit bagi pesaing calon tunggal untuk mendapatkan dukungan partai yang memenuhi syarat pencalonan.

"Sementara untuk maju melalui jalur perseorangan tidak mudah karena harus mendapatkan dukungan 10 persen dari total pemilih yang terdaftar di DPT," ujar Karyono.

Dari hasil pilkada sebelumnya, kata dia, mayoritas paslon yang melawan kotak kosong memenangkan pilkada kecuali Pilkada Kota Makassar pada Pilkada 2018. Kemenangan kotak kosong di Makassar, kata Karyono, karena figur pejawat Mohammad Ramdhan Pomanto didiskualifikasi KPUD.

Karyono memandang, fenomena Pilkada kotak kosong kian meningkat karena dalam kalkulasi politik lebih mudah untuk menang daripada melawan paslon lain. Dari segi biaya politik pemengan juga diperkirakan lebih efisien. Namun, menurutnya fenomena kotak kosong dalam kontestasi pilkada menjadi dilema demokrasi. 

"Di satu sisi, kemungkinan adanya pilkada melawan kotak kosong harus diantisipasi dan perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tapi di sisi lain, membuka celah untuk dimanfaatkan untuk memenangi kontestasi secara instan. Dampak lainnya telah menghambat hak warga negara untuk dipilih," ucap Karyono.

Diketahui, berdasarkan hasil penghitungan suara sementara, 25 daerah pilkada dengan satu calon tunggal mengantongi suara lebih tinggi dari kotak kosong atau kolom kosong. 

Calon tunggal mengantongi suara di atas 70 persen bahkan ada juga yang 90 persen seperti di Kota Semarang, Badung dan Boyolali. Hanya pemilihan bupati dengan calon tunggal di Kabupaten Humbang Hasundutan yang berjalan cukup kompetitif, calon tunggal di kabupaten ini hanya berhasil mendapatkan suara 52,5 persen.

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler