Rabu 16 Dec 2020 04:35 WIB

Cegah Klaster Covid, Protokol Kesehatan Ponpes Diperketat

Pihak ponpes disarankan tak memulangkan santri pada masa liburan ini

Sejumlah santri antre untuk mengikuti tes usap (swab test) di Pondok Pesantren Darul Atsar Salamsari, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (16/10/2020). Tes usap dilakukan bagi sedikitnya 500 santri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia sebelum melaksanakan pembelajaran secara tatap muka sebagai wujud sinergi pihak Ponpes dengan dinas kesehatan guna mencegah penyebaran COVID-19.
Foto: ANANTARA/Anis Efizudin
Sejumlah santri antre untuk mengikuti tes usap (swab test) di Pondok Pesantren Darul Atsar Salamsari, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, Jumat (16/10/2020). Tes usap dilakukan bagi sedikitnya 500 santri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia sebelum melaksanakan pembelajaran secara tatap muka sebagai wujud sinergi pihak Ponpes dengan dinas kesehatan guna mencegah penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG -- Di tengah ancaman penularan Covid-19 di pondok pesantren (ponpes), para santri sebentar lagi menghadapi masa liburan. Terkait dengan hal itu, protokol kesehatan (prokes) yang lebih ketat dinilai perlu diterapkan.

"Jika kondisi ini kita biarkan, tidak menutup kemungkinan klaster pondok pesantren juga akan semakin meluas dan jumlah korban jiwa akibat pandemi Covid-19 juga akan terus bertambah," kata Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) NU KH Abdul Ghofarrozin dalam keterangannya, Selasa (15/12).

Di antara imbauan yang dikeluarkan RMI NU adalah ponpes diminta tidak memulangkan santri terlebih dahulu. Pondok pesantren dipandang perlu menyiapkan kegiatan khusus selama masa liburan yang tak membosankan dengan mengedepankan prokes pencegahan Covid-19.

Pondok pesantren juga diminta tidak mengizinkan santri keluar area ponpes, termasuk tidak menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan orang dari luar lingkungan pesantren selama liburan. "Kecuali terpaksa dengan tetap melaksanakan prokes ketat," kata Gus Rozin, sapaan akrab KH Abdul Ghofarrozin.

Kunjungan wali santri juga dibatasi dengan mengoptimalkan kunjungan secara virtual. Jika terpaksa, kunjungan harus dijadwal sekali atau maksimal dua kali selama masa liburan dengan waktu maksimal 30 menit.

Penting juga mengupayakan tempat luas dan berventilasi. Selama pertemuan, santri dan wali harus menjaga jarak, tidak berkontak fisik, mengenakan masker, dan tidak makan bersama. Berikutnya, barang kiriman untuk santri juga harus didisinfeksi terlebih dahulu. "Apabila santri atau wali melanggar, seusai kunjungan santri harus diisolasi selama 14 hari," ujarnya.

Ia juga menegaskan, jika terpaksa memulangkan santri, pihak ponpes harus memastikan santri telah mendapatkan sosialisasi tentang Covid-19. Ketika santri kembali ke pondok pesantren, harus dilakukan screening ulang secara ketat dan kembali menjalani isolasi.

Terhadap pondok pesantren yang diketahui santrinya positif atau yang diduga kuat terdapat kasus Covid-19, semua warga pesantren harus diisolasi mandiri selama 14 hari secara ketat. Jika membutuhkan perawatan insentif, santri dapat di pulangkan. "Langkah-langkah pencegahan penularan selama masa liburan ini perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi risiko penyebaran Covid-19 dan timbulnya korban," ujarnya.

Kementerian Agama (Kemenag) sebelumnya melansir, sekitar 6.000 santri di 81 pesantren tertular Covid-19 selama masa pandemi ini. Meski sebagian besar santri tersebut sembuh, menurut catatan RMI NU, sebanyak 207 kiai dan nyai di pesantren wafat karena Covid-19. Hal tersebut memicu sejumlah pihak meminta pemerintah pusat untuk lebih memberikan perhatian melalui Kemenag dan Kementerian Kesehatan.

Sementara itu, di daerah, menurut Staf Ahli Rumpun Kuratif Satgas Penanganan Covid-19 Jawa Timur Makhyan Jibril Al-Farabi, pihaknya tidak lagi menemukan klaster besar penyebaran Covid-19 di lingkungan pondok pesantren.

Sebelumnya, kata Jibril, hanya klaster Ponpes Temboro, Magetan, pada April, dan klaster Ponpes Darusalam, Blokagung, Banyuwangi, pada September, yang tergolong klaster besar di Jatim. "Sekarang udah enggak ada (klaster Ponpes), enggak terlalu banyak. Dulu itu yang banyak, yang Blokagung, juga sekarang udah nggak terlalu banyak," ujar Jibril kepada Republika, Selasa (15/12). Menurut catatan Kemenag, Jatim sempat termasuk salah satu daerah dengan kasus terbanyak, yakni sekitar 980 kasus.

Jibril mengakui sempat ada kesulitan ketika Satgas Covid-19 ingin melakukan penelusuran terkait penyebaran Covid-19 di lingkungan ponpes. "Kan mungkin mereka khawatir kita datang itu untuk mengintervensi atau mengubah kultur. Tapi, kalau kita datang dengan bantuan, datang dengan problem solving, kita bisa negosiasikan," kata dia.

Jibril melanjutkan, ketika pun ditemukan klaster penyebaran Covid-19 di pondok pesantren, mengatasinya tidak terlalu sulit. "Jadi, biasanya kita sarankan untuk lockdown lokal. Kita suplai makanan untuk mereka supaya mereka tetap bisa di-lockdown, jadi kebutuhan mereka kita penuhi," ujar Jibril.

Setelah itu, Jibril melanjutkan, Satgas Covid-19 Jatim langsung melakukan screening massal untuk warga pesantren. "Gejala berat kita pisahkan, kita bawa ke rumah sakit terdekat atau bahkan kita buatkan rumah sakit mini. Kalau yang ringan-ringan, ya, diisolasi di kamar masing-masing," kata Jibril.

Di Salatiga, Jawa Tengah, Kantor Kemenag juga mengeklaim telah meningkatkan prokes setelah tertularnya ratusan santri di Kecamatan Sidorejo. "Untuk pencegahan, Kemenag Kota Salatiga juga telah mengarahkan kepada pondok pesantren lainnya untuk sementara tidak melakukan kegiatan secara tatap muka, tetapi kegiatan santri dilakukan secara daring terlebih dahulu," kata Kepala Seksi Pontren Kantor Kemenag Kota Salatiga Komarul Azis. (bowo pribadi/dadang kurnia, ed:fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement