Rabu 16 Dec 2020 06:57 WIB

Stabilitas Pasar Modal dan Pemulihan Ekonomi Nasional

OJK mengeluarkan beberapa aturan dan menurunkan fluktuasi pasar.

Karyawan berjalan di dekat layar pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (11/12/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona hijau pada perdagangan akhir pekan Jumat (11/12/2020) dengan naik tipis 0,08 persen atau naik 4,63 poin ke level 5.938,33.
Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA
Karyawan berjalan di dekat layar pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (11/12/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona hijau pada perdagangan akhir pekan Jumat (11/12/2020) dengan naik tipis 0,08 persen atau naik 4,63 poin ke level 5.938,33.

REPUBLIKA.CO.ID -- 

Oleh Hans Kwee,  Direktur PT Anugerah Mega Investama/Pengajar di FEB Universitas Trisakti dan MET Universitas Katolik Atmajaya 

Awal tahun Pasar Modal masih optimis karena ada perjanjian fase ke 1 perang dagang China dan Amerika Serikat di tengah merebaknya virus Covid-19 di Wuhan, China, yang berlangsung sejak akhir Desember 2019. Saya termasuk yang ikut optimis sambil berharap memang virus mematikan itu tidak bisa berkembang dan hidup di Indonesia.

Namun, apa mau dikata, tanggal 2 Maret 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan kasus Covid-19 pertama di dalam negeri. Tidak cukup sampai di situ, tidak lama berselang, Indonesia menjadi daerah pandemi karena pasien terinfeksi dan korban meninggal terus bertambah. Biarpun percepatan penyebaran kasus Covid 19 di Indonesia sebenarnya relatif lebih lambat bila dibandingkan Negara lain. 

Ini memang krisis kesehatan, tetapi bagi saya yang berkecimpung di dunia keuangan, terutama pasar modal, pandemi ini akan menyebabkan fluktuasi di pasar saham Indonesia. Dalam upaya pencegahan penyebaran Covid 19 pemerintah diberbagai Negara menerapkan pembatasan sosial yang berakibat terhentinya aktivitas ekonomi.

Pasar saham adalah produk jasa keuangan yang banyak digerakkan oleh sentimen dan persepsi pelaku pasar. Pasar bergerak karena harapan keuntungan di masa yang akan datang. Bila ada peristiwa yang berpotensi menaikan atau menurunkan laba dan kinerja perusahaan akan menjadi sentimen penggerak harga saham perusahaan tersebut. 

Pandemi Covid 19 terjadi di hampir semua negara di dunia. Data WHO menyebutkan hingga 14 Desember 2020, korban terinfeksi sudah mencapai 70,46 juta orang dan korban meninggal hampir 1,6 juta orang. Kasusnya tersebar di 220 negara.

Kami pelaku pasar modal tentu sangat waspada, belum lagi menghadapi permainan spekulan di pasar saham yang ingin mendapatkan keuntungan jangka pandek. Meskipun sebenarnya, naik turun harga saham di pasar modal adalah hal yang wajar.

Auto Reject Tenangkan Pasar

Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ternyata cukup menangkap kekhawatiran pelaku pasar. Seminggu setelah Indonesia dinyatakan pandemi Covid-19, OJK mengeluarkan beberapa aturan yang sangat baik dan menurunkan fluktuasi pasar. 

OJK berkoordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI), yang merupakan Self Regulatory Organization (SRO) atau organisasi yang melaksanakan kewenangan penerapan aturan (regulator) di industri pasar modal. Kedua lembaga ini segera membuat beberapa kebijakan untuk menurunkan fluktuasi pasar. 

Mulai tanggal 10 Maret 2020, BEI mengubah ketentuan batasan auto rejection atau batas atas dan bawah perubahan harga saham. Sistem auto rejection adalah sistem yang otomatis menolak order atau penawaran beli atau jual yang melebihi parameter.

Batasan Auto Rejection dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, harga acuan saham Rp50 hingga Rp200 batas auto rejection atas 35% dan batas auto rejection bawah 10%. Kemudian, untuk harga acuan saham lebih besar dari Rp200 hingga Rp5.000, ditetapkan auto rejection atas sebesar 25% dan auto rejection bawah 10%. Selanjutnya, untuk harga acuan saham di atas Rp5.000, ditetapkan auto rejection atas 20% dan auto rejection bawah 10%. 

Awalnya, banyak yang  merasa kebijakan ini belum perlu di awal-awal pandemi karena ekonomi masih memiliki fundamental baik untuk melawan sentimen negatif. Namun, seiring dengan perjalanannya saya melihat timing pemberlakuan kebijakan ini sangat tepat karena waktu kebijakan itu keluar pasar saham sedang panik. 

Sehingga, ketika diterapkan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih terkendali. Memang sesudah itu IHSG berserta pasar saham dunia lainya mulai rebound di akhir Maret 2020 setelah Amerika Serikat mengeluarkan stimulus moneter, quantitatif easing. 

Di pasar saham selalu ada pro dan kontra terhadap semua kebijakan, tidak terkecuali kebijakan Auto Rejection asimetris. Namun, sebenarnya auto reject dalam kondisi panik dan tidak pasti sebenarnya adalah kebijakan yang bagus. Pihak yang kontra tentunya mengharapkan harga terdiskon banyak ke bawah akibat banyak pelaku pasar panik. Ketika harga turun banyak, pelaku pasar tersebut bisa membeli saham di harga bawah. Karena disetiap krisis tentu ada peluang, dan peluang itu datang ketika pasar panik dan menjual sesuatu yang berharga dengan harga diskon. 

Pasar Saham Harus Efisien

Penurunan pasar yang tidak rasional tentu tidak dapat di biarkan oleh regulator. Ketika pelaku pasar tidak rasional dan cenderung panik sehingga tidak dapat berpikir jernih tentu Otoritas Pasar perlu bertindak. Pengawasan dan regulator pasar modal berusaha menciptakan pasar yang efisien agar pelaku pasar merasa nyaman. 

Kami Contohkan ketika sedang trading, kemudian IHSG mendadak turun 5%. Semua orang pasti panik. Akibatnya investor akan cut loss. Cut loss adalah tindakan melakukan penjualan saham yang dimiliki untuk menghindari kerugian yang lebih besar, yang disebabkan oleh pergerakan harga berlawanan dengan yang diperkirakan.

Akibat ada yang menjual rugi harga akan kembali turun sehingga yang panik akan bertambah banyak dan ikut cut loss. Dalam hal ini hukum suplay demand akan berlaku. Jika semua orang menjual, maka harga akan terus turun lebih dalam lagi. Nah, inilah namanya efek domino di pasar. Ketika otoritas menerapkan auto reject asimetris, penurunan itu berhenti dulu dan memberikan kesempatan pelaku pasar berpikir rasional. 

Selama pandemi, OJK tampaknya terus berada di pasar sehingga aktif menerbitkan peraturan yang menghindari kejatuhan indeks. Selain itu otoritas pasar modal juga menerapkan trading halt atau transaksi perdagangan disetop selama 30 menit. 

Kebijakan ini juga terbukti efektif. Ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sampai 5 % maka transaksi di bursa berhenti 30 menit sebelum pasar dibuka lagi. Beberapa kali kami perhatikan pasar rebound setelah penghentian tersebut dan cenderung tidak turun lagi. Kenapa? Karena ketika perdagangan dihentikan orang mempunyai waktu berpikir dan kembali menjadi lebih rasional. Bila transaksi terus berlangsung ketika pasar turun maka yang terjadi adalah perilaku herding alias mengekor. Pelaku pasar akan ikut panik yang berakibat ikut-ikutan menjual saham dan berakibat harga saham akan turun lagi dan turun lagi. 

Kejadian ini akan berlanjut dan berantai ke pihak lain yang lain ikut jadi panik. Sahamnya akan dijual lagi dan ini akan menyebabkan nilai IHSG turun terus. Jadi, auto reject asimetris dan trading halt yang diberlakukan regulator jasa keuangan di Indonesia menjadikan pasar lebih efisien, sehingga memberikan waktu kepada pelaku pasar untuk lebih rasional dalam bertransaksi.

Sistem Keuangan Stabil

Sejumlah kebijakan lain yang sangat mendukung menstabilkan sistem keuangan selama pandemi Covid-19, antara lain larangan short selling, buyback saham tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam kondisi pasar berfluktuasi signifikan, serta penyesuaian sesi perdagangan di pre-opening.

Setidaknya ada sembilan kebijakan terkait pandemi Covid 19 di pasar modal dan mempermudah proses pembukaan rekening efek dalam rangka menstabilkan sistem keuangan untuk menopang pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.

Stabilitas sistem keuangan dari pasar modal sangat penting karena selain pelaku di industri ini, masyarakat sudah menjadikan acuan kenaikan dan kejatuhan indek saham sebagai indikator penentu pemulihan ekonomi, termasuk selama pandemi.

Di luar kebijakan teknis di pasar modal, kebijakan OJK melakukan relaksasi pinjaman dan pembiayaan juga memberikan sentimen positif bagi saham, terutama saham perbankan, karena dinilai dapat mengurangi potensi kredit macet di tengah krisis sektor riil.

Pasar modal memang sangat membutuhkan campur tangan OJK dalam waktu yang tepat karena bursa efek menjadi sarana pendanaan usaha atau sarana perusahaan untuk mendapatkan dana dari investor, serta sebagai sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement