Selasa 15 Dec 2020 00:30 WIB

Angka Perkawinan Anak Tinggi, Meutia: Perlu Rekayasa Budaya

Angka perkawinan anak di Indonesia hanya turun 3,5 persen dalam kurun 10 tahun.

Seorang remaja putri membawa peraga kampanye pada Kick Off Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (30/1/2020).
Foto: Antara/Basri Marzuki
Seorang remaja putri membawa peraga kampanye pada Kick Off Gerakan Pencegahan Perkawinan Anak di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (30/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar antropologi Universitas Indonesia Prof Meutia Hatta Swasono mengatakan, praktik perkawinan anak di Indonesia belum turun signifikan. Dari 2008 hingga 2018, angkanya hanya turun 3,5 persen saja.

"Menurut data statistik Unicef dan Puskapa UI bekerja sama dengan Bappenas dan BPS, Indonesia menempati posisi 10 besar di dunia dengan angka perkawinan anak tertinggi," kata Meutia dalam seminar daring tentang perkawinan anak yang diselenggarakan Yayasan Mitra Daya Setara diikuti dari Jakarta, Senin.

Baca Juga

Perkawinan anak yang tinggi berdampak pada lama sekolah penduduk Indonesia. Hanya ada tiga provinsi yang rata-rata siswanya bersekolah sembilan tahun atau lebih, yaitu Aceh, Yogyakarta, dan Sulawesi Utara.

Sementara itu, siswa di provinsi-provinsi lain di Jawa, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Maluku rata-rata hanya bersekolah delapan tahun. Lainnya hanya menempuh masa belajar rata-rata di bawah tujuh tahun, bahkan di Papua rata-rata hanya di bawah empat tahun.

Menteri Pemberdayaan Perempuan periode 2004-2009 itu mengatakan, kondisi tersebut menggambarkan keadaan yang tidak diharapkan. Apalagi, dengan pembentukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak 1973 yang awalnya bernama Kementerian Muda Peranan Wanita.

"Telah banyak peningkatan program pemberdayaan perempuan yang dibangun sejak 2000, tetapi masih terdapat tantangan terhadap perkawinan anak yang hanya menurun 3,5 persen dalam kurun waktu 10 tahun," tuturnya.

Karena itu, menurut Meutia, perlu ada rekayasa budaya untuk mencegah praktik perkawinan anak. Rekayasa budaya merupakan upaya menanamkan cara pandang baru dan atau pola pikir baru maupun persepsi dalam menghadapi fenomena sosial baru di masyarakat akibat perubahan sosial budaya yang cukup signifikan.

"Diperlukan sikap mental dan perilaku adaptif yang tepat untuk menanggapinya. Perkawinan anak adalah fenomena masalah yang memerlukan rekayasa budaya untuk mencegahnya," ujarnya.

Pendiri Yayasan Mitra Daya Setara Linda Amalia Sari Gumelar mengadakan seminar daring bertema "Pendekatan Budaya dalam Mencegah Perkawinan Anak". Seminar digelar karena praktik perkawinan anak dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya masih terus terjadi di masyarakat.

"Masih ada anggapan sebagian masyarakat dan pemahaman terhadap tafsir agama yang tidak selalu tepat dengan ajaran yang sebenarnya yang terkesan mendukung praktik perkawinan anak," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Periode 2009-2014 itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement