Senin 14 Dec 2020 16:50 WIB

Perkawinan Anak Sebabkan Kemiskinan Lintas Generasi

Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Perkawinan Anak Sebabkan Kemiskinan Lintas Generasi. Kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. (Ilustrasi)
Foto: Aditya Pradana Putra/Antara
Perkawinan Anak Sebabkan Kemiskinan Lintas Generasi. Kampanye Gerakan Stop Perkawinan Anak. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan perkawinan anak berisiko tinggi menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan terjadi tidak hanya pada anak yang dikawinkan, tetapi juga pada generasi-generasi anak tersebut berikutnya.

"Perkawinan anak dapat menyebabkan kemiskinan lintas generasi. Perkawinan anak meningkatkan risiko putus sekolah yang berdampak pada pendidikan yang rendah dan pendapatan yang rendah," kata Bintang dalam seminar daring tentang perkawinan anak yang diselenggarakan Yayasan Mitra Daya Setara yang diikuti dari Jakarta, Senin (14/12).

Baca Juga

Anak yang dikawinkan akan memiliki beban menafkahi keluarga sehingga harus bekerja. Hal itu pada akhirnya berdampak pada peningkatan angka pekerja anak.

Menurut Bintang, praktik perkawinan anak memiliki dampak jangka panjang terhadap keluarga, masyarakat, dan generasi selanjutnya. Salah satu faktor yang menyebabkan permasalahan adalah ketidaksiapan anak secara fisik untuk dikawinkan.

"Perempuan yang hamil di bawah usia 20 tahun secara fisik belum siap mengandung dan melahirkan," ujarnya.

Ketidaksiapan mental pasangan perkawinan anak juga berisiko menyebabkan anak mengalami stres tinggi yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga dan pemberian pola asuh yang tidak tepat bila memiliki anak.

Bintang mengatakan praktik perkawinan anak harus dicegah karena merupakan pelanggaran atas hak-hak anak yang dapat berdampak buruk terhadap tumbuh kembang dan kehidupannya.

"Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia," katanya.

Pendiri Yayasan Mitra Daya Setara, Linda Amalia Sari Gumelar mengatakan anak secara psikologis dan ekonomi belum siap untuk berumah tangga sehingga berisiko terjadi kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian.

"Namun, masih ada anggapan sebagian masyarakat dan pemahaman terhadap tafsir agama yang tidak selalu tepat dengan ajaran yang sebenarnya yang terkesan mendukung praktik perkawinan anak," kata menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak periode 2009-2014 itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement