Senin 14 Dec 2020 12:27 WIB

Cukai Rokok Naik, Alasan Kesehatan atau Penerimaan APBN?

Pemerintah ingin menurunkan prevalensi merokok dengan kenaikan cukai rokok.

Cukai Rokok (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Cukai Rokok (ilustrasi)

Oleh : Friska Yolanda*

REPUBLIKA.CO.ID, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen pada tahun depan. Kenaikan cukai ini diharapkan meningkatkan penerimaan pemerintah sekaligus mengurangi tingkat prevalensi merokok di Indonesia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, kebijakan CHT tahun depan dilaksanakan sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan pada Sumber Daya Manusia (SDM) maju. Diharapkan, kenaikan cukai rokok dapat mengendalikan konsumsi rokok, terutama pada kalangan anak-anak dan remaja.

Sri mengatakan, prevalensi merokok pada anak usia 10 tahun sampai 18 tahun saat ini mencapai 9,1 persen. Diharapkan rasio ini bisa turun menjadi 8,7 pada 2024. Di sisi lain, prevalensi merokok secara umum diharapkan dapat turun menjadi 33,2 persen pada 2021, dari 33,8 persen pada tahun ini.

Pengamat melihat kenaikan cukai rokok tahun depan lebih mengedepankan aspek pengendalian dibandingkan penerimaan negara. Akan tetapi, dengan harga rokok yang semakin mahal, maka potensi beredarnya rokok ilegal akan semakin tinggi. Pemerintah perlu melakukan berbagai upaya agar rokok ilegal tidak merajalela sehingga merugikan negara.

Di sisi lain, menghapus kebiasaan merokok tidak semudah membalikkan telapak tangan, bahkan saat pandemi sekalipun. Sebuah survei yang dilakukan Komite Nasional Pengendalian Tembakau menemukan, pandemi Covid-19 sama sekali tidak mengubah perilaku merokok pada perokok. Angka perokok aktif bahkan cenderung meningkat.

Berhenti merokok memang harus dimulai dari diri sendiri. Karena, godaannya tak sekadar tawaran merokok tetapi juga perubahan dalam tubuh yang membuat tak nyaman.

Banyak yang bilang kalau berhenti merokok justru membuat badan sakit. Awalnya saya tidak percaya karena seharusnya dengan berhenti merokok seseorang akan menjadi lebih sehat. Saya baru mengerti sulitnya berhenti merokok setelah melihat fase itu di Pak Suami.

Entah kesambet malaikat apa, dia mengaku pada saya sudah hampir dua minggu tidak merokok. Saya sempat tidak percaya karena dia lebih sering merokok daripada makan. Tapi setelah diperhatikan, ternyata memang benar dia tak lagi mengisap tembakau. Saya tak lagi mencium bau rokok di bajunya, badannya, dan barang-barang yang menempel padanya. Rambutnya kini wangi shampo, bukan bau residu rokok.

Alih-alih sehat, dia justru sakit cukup lama. Entah itu demam, mual, lemas, batuk-batuk sampai bengek. Kami cukup panik saat itu karena beberapa gejala seperti mengarah ke infeksi Covid-19. Untungnya bukan karena lidahnya masih bisa merasa.

Apa yang terjadi dalam diri Suami dinamakan nicotine withdrawal. Ketergantungan nikotin membuat seseorang membutuhkan zat tersebut dalam waktu tertentu. Diputusnya asupan nikotin akan menimbulkan sejumlah gejala seperti sakit kepala, mual, lemas, dan gejala mirip flu.

Ini jadi tantangan. Ibarat orang sakaw, perokok merasa tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya sehingga ingin kembali menghisap tembakau. Kalau tidak kuat-kuat iman, bisa jadi dia kembali merokok.

Kondisinya mulai membaik setelah tiga pekan tak menghisap rokok. Nafasnya sudah tidak berbunyi seperti orang asma, dan batuk-batuknya berkurang.

Alih-alih hemat, berhenti merokok justru menambah pengeluaran. Kalau biasanya uang habis Rp 20 ribu hanya untuk rokok sehari dua hari, saat berhenti merokok, jajannya lebih banyak untuk mengalihkan perhatian dari rokok. Tapi tak apalah, daripada merugikan diri sendiri dan orang lain yang mengisap asapnya. Semoga istiqomah.

Mohon maaf, Bu Sri Mulyani, suami saya tak lagi jadi penyumbang penerimaan negara dari cukai rokok. Tapi kami tetap bayar pajak yang lain kok.

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement