Ahad 13 Dec 2020 11:33 WIB

Polemik HRS: Memahami Masalah, Gejala, dan Pengobatan

HRS mampu mencuri ruang yang ditinggalkan negara di hati masyarakat.

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai diperiksa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (13/12/2020) dini hari. Rizieq Shihab ditahan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk kepentingan penyidikan perkara kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 terkait kerumunan di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta pada 14 November lalu. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.
Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (tengah) berjalan menuju mobil tahanan usai diperiksa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (13/12/2020) dini hari. Rizieq Shihab ditahan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk kepentingan penyidikan perkara kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 terkait kerumunan di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta pada 14 November lalu. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.

Oleh : Ábdullah Sammy, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Politik adalah seni mencari masalah, mendiagnosisnya secara salah dan memberi obat yang salah. Begitu kata penulis kenamaan Inggris di awal abad ke-20, Sir Ernest Benn.

Sejarah mencatat bagaimana pernyataan itu terbukti empiris. Kesalahan pemimpin besar Cina Mao Zedong menjadi contoh. Mao memang merupakan tokoh besar dalam perpolitikan Cina. Namun ketika dia menggunakan pendekatan politik dalam mengatasi persoalan pertanian, maka yang terjadi adalah bencana.

Pada 1958, Mao menggulirkan kampanye pembasmian empat hama yang salah satunya adalah burung gereja. Walhasil ratusan juta burung gereja diburu rakyat Cina.

Kebijakan Mao membasmi burung gereja ternyata keliru besar. Hilangnya burung gereja malah membuat populasi hama serangga meledak. Nyatanya, efek hama serangga yang selama ini menjadi santapan burung gereja, jauh lebih dahsyat. Akibat dari kebijakan membasmi burung gereja, Cina dilanda gagal panen besar. Sekitar 15 hingga 46 juta rakyat pun mati kelaparan.

Apa yang terjadi di Cina menjadi contoh bagaimana pendekatan politik negara yang salah mendiagnosis permasalahan.Negara kerap salah mendiagnosis permasalahan yang terjadi di akar rumput. Padahal diagnosis masalah adalah hal yang amat penting dalam mengobati persoalan.

Dalam ilmu kesehatan, seorang dokter dituntut bisa untuk mendiagnosis penyakit dari penelusuran gejala-gejala yang timbul. Dengan diagnosis yang tepat, obat yang diberikan pun akurat. Sehingga penyakit bisa cepat sembuh.

Sebagai contoh, seorang yang menderita penyakit asam lambung biasanya menderita gejala seperti sulit bernapas. Jika obat yang diberikan adalah obat untuk membantu pernapasan, praktis hal itu hanya sekadar meringankan gejalanya saja. Namun penyakit utamanya, asam lambung, belum tertangani.

Inilah analogi yang kerap terjadi di negeri ini. Terkadang, pemangku negara hanya mengatasi gejala permasalahan, tetapi inti persoalan tak pernah diselesaikan. Polemik terkait Habib Rizieq Shihab (HRS) bisa kita bedah dari pertanyaan, apakah pentolan FPI itu adalah masalah utama atau sekadar gejala dari persoalan utama?

photo
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab berada di mobil tahanan usai diperiksa di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Minggu (13/12/2020) dini hari. Rizieq Shihab ditahan penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk kepentingan penyidikan perkara kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan COVID-19 terkait kerumunan di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta pada 14 November lalu. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras. - (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Rasanya bukan kali ini saja Indonesia berurusan dengan sosok seperti HRS bersama FPI-nya. Pada 1984, di Jakarta pernah ada ulama bernama Abdul Qadir Djaelani dengan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Ada pula sosok Amir Biki yang punya kemampuan menggerakkan umat. Keduanya cukup keras saat berorasi. Terkadang hujatan mereka layangkan pada aparat dan pemerintahan. Puncaknya pada 12 September 1984, gerakan massa pimpinan Amir Biki diberondong tembakan tentara yang menyebabkan belasan orang tewas. Peristiwa itu kemudian dikenang sebagai tragedi Tanjung Priok.

Sosok Amir Biki, Abdul Qadir Djaelani, dan kini HRS sejatinya hanya sekadar gejala yang timbul dari persoalan. Persoalan utama itu adalah umat yang selama ini masih teralienasi secara pendidikan, politik, maupun perekonomian. Inklusivitas tak dirasakan mayoritas masyrakyat Indonesia yang kebetulan mayoritas beragama Islam.

Sebelum pecahnya kasus Tanjung Priok, posisi kelompok Islam dalam perpolitikan nasional memang terpinggirkan. Kebijakan Orde Baru melakukan depolitisasi pasca-peristiwa Malari menyasar pula pada gerakan politik dan budaya keislaman. Depolitisasi  mengarahkan pemuda lebih ke sisi budaya populer yang bersifat konsumtif.

Di sisi lain budaya Islam, seperti berhijab, dihambat Orde Baru. Disparitas semakin terasa karena sedikitnya afiliasi kelompok Islam itu dalam ring utama pemerintahan Soeharto.

Suara kritik yang saat itu mulai muncul kepada Orde Baru pun disikapi secara represif. Soeharto bahkan menyatakan yang berseberangan dengan pemerintah adalah musuh.

"Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila," begitu salah satu penggalan pidato Soeharto pada HUT Kopassandha, 16 April 1980. Walhasil muncul semacam kesan warga kelas dunia di kalangan kelompok Islam.

Dalam situasi seperti ini, suara vokal tokoh Islam cepat mendapat atensi masyarakat. Walhasil pada periode ini bermunculan tokoh seperti AM Fatwa, Mawardi Noor, dan Oesmany Al Hamidy. Begitu pula halnya populisme tokoh umat yang cukup keras seperti Abdul Qadir Djaelani dan Amir Biki. Semua mengisi ruang kosong yang ditinggalkan negara.

Kala itu, umat merasa diperlakukan tidak adil oleh negara. Perasaan itu yang kemudian terwakilkan oleh suara-suara tokoh Islam yang cukup vokal. Penahanan Abdul Qadir Djaelani dan pembunuhan terhadap Amir Biki nyatanya tak menyelesaikan persoalan. Sebaliknya peristiwa Tanjung Priok justru menambah permasalahan baru.

Orde Baru mulai menyadari permasalahan utama adalah jarak mereka dengan kelompok Islam yang selama ini merasa warga kelas dua. Hal yang coba diperbaiki pada awal 1990-an. Namun semua sudah terlambat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement