Sabtu 12 Dec 2020 14:11 WIB

Jokowi Minta Kepala Daerah Ngutang, Perlukah?

Serapan APBD sampai September 2020 sangat minim.

Surat Utang (ilustrasi)
Foto: Tim Infografis Republika.co.id
Surat Utang (ilustrasi)

Oleh : Nidia Zuraya*

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pemerintah daerah mulai menerbitkan surat utang (obligasi) sebagai alternatif sumber pembiayaan selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Permintaan tersebut ia sampaikan saat membuka Rakornas Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) 2020 pada 10 Desember kemarin.

Pesan yang disampaikan Jokowi ini tentunya juga ditujukan kepada para kepala daerah yang baru saja terpilih dalam kontestasi Pilkada 2020 lalu.

 

Menurut presiden, penerbitan obligasi daerah merupakan salah satu bentuk perluasan infrastruktur akses keuangan bagi masyarakat di daerah. Melalui obligasi, maka masyarakat bisa berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan.

Selain dari dana pendapatan asli daerah (PAD), pemerintah daerah menggandalkan dana transfer dari pemerintah pusat untuk membiayai pembangunan di daerah. Dana transfer dari pemerintah pusat ini dalam bentuk dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil (DBH). 

Dana transfer dari pemerintah pusat ini apakah tidak mencukupi untuk membiayai pembangunan di daerah? Bagi sebagian daerah mungkin dana dari pemerintah pusat ini dinilai cukup, tapi bagi daerah lainnya mungkin tidak mencukupi.

Kendati demikian fakta di lapangan memperlihatkan saldo kas anggaran yang mengendap di rekening pemerintah daerah (pemda) sampai dengan akhir September 2020 mencapai Rp.239,5 triliun. Jumlah ini naik Rp.12,4 triliun dibandingkan realisasi bulan sebelumnya.

Tak hanya itu, realisasi belanja pemda dalam postur APBD pun tumbuh tipis. Tercatat, tingkat penyerapan anggaran di daerah sampai dengan September 2020 baru 53,3 persen.

Rendahnya realisasi belanja pemda juga terlihat dari realisasi anggaran penanganan Covid-19 yang masih rendah di tingkat daerah, terutama untuk bantuan sosial dan ekonomi. Pemda memiliki alokasi anggaran Rp.72,45 triliun untuk penanganan Covid-19. Tapi, hingga awal November, realisasinya baru 42,23 persen

Minimnya penyerapan anggaran daerah menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani dikarenakan pemerintah daerah masih terlalu bergantung pada program pemerintah pusat. Padahal APBD diharapkan dapat melakukan seluruh program sehingga membantu perannya sebagai countercyclical di tengah situasi pandemi.

Dengan masih tingginya saldo kas anggaran yang mengendap di rekening pemda, apakah penerbitan surat utang masih diperlukan? Keberadaan surat utang ini tentunya sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur di daerah yang membutuhkan biaya investasi tidak sedikit.

Merujuk pada regulasi yang ada, syarat yang harus dipenuhi oleh Pemda untuk menerbitkan obligasi daerah cukup banyak. Syarat yang harus dipenuhi oleh Pemda dalam rangka menerbitkan obligasi daerah terlampir dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 56/2018, Peraturan OJK (POJK) Nomor 61/2019, 62/2019, Nomor 63/2019, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 180/2019.

Pertama, jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak boleh melebihi 75 persen penerimaan APBD tahun sebelumnya. Kedua, rasio kemampuan untuk mengembalikan pinjaman atau yang disebut debt to service coverage ratio (DSCR) paling sedikit sebesar 2,5 persen.

Ketiga, Pemda tidak boleh memiliki tunggakan atas pengembalian pinjaman dari pemerintah pusat. Setelah tiga syarat tersebut dipastikan bisa dipenuhi, Pemda perlu mendapatkan persetujuan dari DPRD sebelum dapat memperoleh persetujuan dari dua institusi di pemerintahan pusat yakni Kemendagri dan Kemenkeu.

Untuk menarik minat pemda agar mau menerbitkan obligasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) memberikan insentif berupa diskon biaya pencatatan efek hingga lima tahun kepada pemerintah daerah tersebut. Berdasarkan Peraturan Nomor I-B perihal Pencatatan Efek Bersifat Utang (Peraturan I-B), pemerintah daerah mendapatkan potongan fee pencatatan sebesar 50 persen untuk obligasi dan sukuk yang diterbitkan.

Adapun berdasarkan aturan tersebut, fee yang dikenakan untuk pencatatan obligasi daerah adalah sebesar Rp.125 juta per tahun. Sedangkan untuk biaya pencatatan sukuk adalah sebesar Rp.100 juta per tahun. Artinya, dengan diterbitkannya aturan ini maka pemerintah daerah hanya perlu membayarkan biaya Rp.62,5 juta dan Rp.50 juta selama lima tahun berturut-turut.

Meski insentif sudah menanti di depan mata, sampai saat ini belum ada pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi. Saat ini Pemda masih memiliki kesulitan dalam menentukan proyek apa yang harus didanai dan menjadi landasan dari penerbitan obligasi daerah.

Obligasi daerah harus mendanai proyek infrastruktur ataupun proyek-proyek lain yang memiliki income stream agar utang yang ditarik oleh Pemda bisa dibayarkan. Pembayaran inilah yang menjadi beban Pemda.

Bagaiamanpun daerah masih menganggap penerbitan obligasi ini sebagai utang yang akan menjadi beban pemerintahan periode selanjutnya.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement