Kamis 10 Dec 2020 19:11 WIB

Pelaku Mutilasi di Bekasi Diduga Korban Pelecehan Seks

Polisi katakan pelaku kesal dengan korban karena paksaan berhubungan berulang kali.

Rep: Uji Sukma Medianti/ Red: Indira Rezkisari
TKP Pembunuhan Mutilasi DS (24) yang diduga dihabisi oleh A (17) di Jalan Cendana, Kelurahan Jakasampurna, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Rabu (9/12).
Foto: Republika/Uji Sukma Medianti
TKP Pembunuhan Mutilasi DS (24) yang diduga dihabisi oleh A (17) di Jalan Cendana, Kelurahan Jakasampurna, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Rabu (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI — Satu per satu teka-teki pembunuhan mutilasi yang jasadnya dibuang terpisah di Jalan KH Noer Ali, Kalimalang dan Jalan Kayuringin Kota Bekasi mulai terjawab. Usai pelaku berinisial AYJ (17) diringkus polisi pada Rabu (9/12) dini hari kemarin, ada dua fakta yang terus dikembangkan kepolisian.

Pertama korban masih berusia 17 tahun. Kedua, pelaku diduga merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh DS (24) yang sudah meninggal dunia itu.

Baca Juga

Hal itu terungkap dari penuturan Kasubag Humas Polres Metro Kota Bekasi, Kompol Erna Ruswing. Ia menyebut pelaku kerap kesal dengan korban lantaran dipaksa berhubungan sesama jenis berkali-kali oleh korban.

“Motif pelaku kesal dengan korban karena dipaksa berhubungan sesama jenis berkali-kali oleh korban," ujar Erna, Rabu (9/12).

Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri, menuturkan, alih-alih menjadi pelaku, bisa jadi AYJ merupakan korban. Reza menyebut, kekerasan seksual merupakan kejahatan luar biasa.

“Alih-alih berstatus sebagai pelaku, boleh jadi dia adalah korban. Korban kejahatan luar biasa! Dan korban kejahatan seksual, mengacu UU Perlindungan Anak, harus mendapat perlindungan khusus,” terangnya saat dihubungi, Kamis (10/12).

Reza menilai, secara psikologis seseorang yang mengalami kekerasan maupun pelecehan secara seksual bisa memantik rasa amarah. Hal ini bisa juga terjadi pada korban.

“Seseorang yang merasa dilecehkan secara seksual dapat mentrigger perbuatan keji. Ya, dipantik oleh perasaan marah yang dialami oleh korban,” terang dia.

Lulusan Universitas Melbourne ini menuturkan, ada dua kemungkinan jika pelaku disidang. Yang pertama adalah peringanan masa hukuman atau bahkan pembebasan dari hukuman.

“Anggaplah dia berstatus ganda, pelaku sekaligus korban. Lantas, status manakah yang didahulukan? Hemat saya, status korbannya didahulukan,” ujar dia.

Dia menuturkan, kasus ini bukan hanya tanggung jawab pihak kepolisian. Tetapi juga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement