Kamis 10 Dec 2020 13:23 WIB

Cukai Rokok Naik, Sri Mulyani: Rokok Makin tak Dapat Terbeli

Dengan ini diharapkan konsumsi rokok terkendali terutama di kalangan anak-anak.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Pedagang menunjukkan bungkus rokok bercukai di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen yang berlaku pada 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 12,5 persen pada tahun depan berimbas pada melonjaknya indeks keterjangkauan rokok hingga hampir dua poin persentase (pps). Artinya, harga rokok semakin sulit dijangkau oleh masyarakat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, affordability index terhadap rokok naik dari 12,2 persen pada 2020 menjadi antara 13,7 persen hingga 14 persen pada tahun depan. "Sehingga, makin tidak terbeli," tuturnya dalam konferensi pers virtual pada Kamis (10/12).

Dengan format kebijakan tersebut, Sri berharap, konsumsi rokok dapat semakin terkendali, terutama pada kelompok anak-anak dan perempuan. Pemerintah menargetkan, prevalensi merokok secara umum diharapkan dapat turun menjadi 33,2 persen pada 2021, dari 33,8 persen pada tahun ini.

Prevalensi merokok untuk anak-anak usia 10 hingga 18 tahun pun akan tetap diupayakan turun. Hal ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2020-2024. "Saat ini, angkanya di 9,1 persen, akan diturunkan di 8,7 persen pada 2024," ujar Sri.

Pemerintah melalui Kemenkeu memutuskan menaikkan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 12,5 persen pada tahun depan. Secara lebih rinci, kenaikan CHT untuk sigaret putih mesin (SPM) golongan I akan dinaikkan sebesar 18,4 persen, sementara golongan IIA dan IIB dinaikkan masing-masing 16,5 persen dan 18,1 persen.

Selain itu, sigaret kretek mesin (SKM) golongan I naik 16,9 persen dan 13,8 persen untuk SKM golongan IIA. SKM golongan IIB pun naik sebesar 15,4 persen. Besaran harga banderol atau harga jual eceran di pasaran harus disesuaikan dengan kenaikan dari tiap masing kelompok ini.

Sedangkan, industri sigaret kretek tangan tidak mengalami perubahan. "Kenaikannya nol persen karena industri ini adalah yang memiliki unsur tenaga kerja terbesar," tutur Sri.

Desain kebijakan CHT tahun depan memperhatikan berbagai aspek, termasuk tenaga kerja dan petani. Sri mencatat, industri sigaret kretek tangan sendiri mampu menyerap tenaga kerja hingga lebih dari 158 ribu orang.

Sementara itu, sekitar 526 kepala keluarga atau 2,6 juta masyarakat masih menggantungkan hidupnya dari pertanian tembakau. "Cukai sigaret kretek tangan yang tidak alami kenaikan ini diharapkan akan memberi kepastian kepada penyerapan hasil tembakau para petani," ujar Sri.

Pada tahun depan, pemerintah juga tidak melakukan simplifikasi layer tarif. Hal ini dilakukan agar pabrikan tidak mendapatkan pukulan ganda dari kenaikan tarif dan dampak simplifikasi.

Tapi, Sri menjelaskan, pemerintah tetap memberikan sinyal simplifikasi dengan memperkecil perbedaan celah tarif antara sigaret kretek mesin golongan IIA dengan golongan IIB. Begitupun dengan sigaret putih mesin.

"Jadi, meski kita tidak simplifikasi drastis dengan menggabungkan golongan, kami berikan sinyal ke industri bahwa celah tarif antara IIA dengan IIB semakin didekatkan tarifnya," ucap Sri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement