Kamis 10 Dec 2020 10:40 WIB

Ajang Pilkada di Mata UAS

Menurut Ustaz Abdul Somad, memilih suatu paslon dalam Pilkada menjadi sebuah ijtihad.

ilustrasi pilkada pas covid
Foto: Republika/Putra M. Akbar
ilustrasi pilkada pas covid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang digelar serentak pada Rabu (9/12) lalu resmi ditutup. Ada 224 kabupaten, 37 kota, dan sembilan provinsi yang menyelenggarakannya. Pesertanya terdiri atas 715 pasangan calon (paslon), termasuk 24 paslon pemilihan gubernur dan 691 paslon pemilihan bupati/wali kota.

Ajang pesta demokrasi lokal itu dapat dipandang sebagai ikhtiar mewujudkan Indonesia yang lebih baik lagi. Hal itu disampaikan mubaligh kondang, Ustaz Abdul Somad (UAS).

Baca Juga

UAS membenarkan, dirinya sebelum dan ketika Pilkada 2020 berlangsung memiliki keberpihakan pada suatu paslon. Baginya, hal itu merupakan cara untuk menerapkan ceramah-ceramahnya selama ini.

“Mengaplikasikan ceramah saya selama ini, bahwa perbaikan meliputi tiga aspek, yakni pendidikan, ekonomi, dan juga politik. Maka saat pilkada saya berijtihad untuk memilih paslon, meminta komitmen, dan mendukung mereka,” tutur UAS kepada Republika, Kamis (10/12).

Menurutnya, umat Islam harus turut aktif dalam kehidupan berdemokrasi. Caranya, antara lain, dengan menggunakan hak suaranya dalam memilih paslon yang dinilai berintegritas. UAS mengatakan, apa pun hasil akhirnya, yang terpenting adalah bahwa Muslimin telah menjalankan haknya dengan sebaik-baiknya.

“Saya tidak berpikir menang atau kalah. Karena, Allah hanya menilai perjuangan, bukan hasilnya,” kata alumnus Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, itu.

photo
Ustaz Abdul Somad mengantarkan pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Bukittinggi Erman Safar dan Marfendi siang ini, Ahad (6/9/2020), mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bukittinggi. - (Republika/Febrian Fachri)

 

UAS mengaku, dukungan yang dilakukannya terhadap suatu paslon tidak didasarkan pada kalkulasi untung-rugi, apalagi ambisi pribadi. Ia pun tidak mempersoalkan bila ada kritik yang memandang seorang dai sudah seharusnya bersikap netral dalam pemilihan umum. Alumnus Omdurman Islamic University (OIU), Sudan, itu membenarkan adanya “pesan” dari Jakarta agar dirinya tidak berpihak pada suatu paslon.

"Pilkada ajang ujian hati. Kalau sewaktu tausiyah, orang datang merebut tangan saya untuk bersalaman. Saat pilkada, saya masuk ke pasar, menyalami orang, sambil berpesan, ‘Jangan lupa ya pak, bu, nanti coblos nomor sekian.’ Akibatnya, saya di-bully, dicaci-maki di medsos (media sosial), tetapi itu menyadarkan diri saya bahwa saya bukan siapa-siapa. Kalau terus disanjung, lama-lama saya bisa jadi seperti firaun,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement