Rabu 09 Dec 2020 23:00 WIB

Jabatan, Antara Anugerah dan Musibah

Kasus suap ini mungkin bukan kali pertama melanda para pejabat

Iman dan ilmu seperti fajar dalam kepemimpina. (ilustrasi).
Foto: Google.com
Iman dan ilmu seperti fajar dalam kepemimpina. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ina Salma Febriany

(Pendamping Sosial Program Keluarga Harapan, Kementerian Sosial RI)

Baca Juga

Tak kurang dari dua minggu, rakyat Indonesia dilanda duka. Duka pertama masih terkait korban yang terus bertambah dari virus corona. Duka kedua adalah tercabiknya kepercayaan rakyat terhadap dua menteri negeri ini yang ditetapkan sebagai tersangka suap kasus korupsi. Satu menteri tersangka suap lobster-- dan satu lagi yang lebih memprihatinkan adalah tersangka suap bantuan sosial (bansos) Covid-19. Innalillah..

Kasus suap ini mungkin bukan kali pertama melanda para pejabat baik pusat maupun daerah, tapi kondisi terjepit di masa Covid ini membuat rakyat kian menjerit. Berbagai sumpah serapah dan kutukan netizen meramaikan laman kolom komentar kementerian tempat mengabdi dua menteri ini sebagai aksi kekecewaan yang tak sanggup dibendung lagi.

Satu komentar yang membuat penulis terhenyak adalah kemarahan seorang calon ayah dimana dirinya harus ‘dirumahkan’ oleh pabrik tempatnya bekerja sementara isterinya tengah mengandung tiga bulan! Sangat kontras dengan ‘gaya’ dua menteri negeri ini yang sempat-sempatnya korupsi di tengah pandemi.

Jika kita menelusuri secara seksama; siapakah yang salah? Apakah karena faktor menteri secara pribadi yang hendak memperkaya diri ataukah hal itu dilakukan dengan kesadaran level tinggi demi kebaikan negeri ini? Sementara dari perspektif sederhana, tidak akan pernah ada kebaikan jika diupayakan melalui jalur ilegal yang semua agama pun tidak merestui.

Dalam kacamata Islam, sesungguhnya leadership concept atau konsep kepemimpinan sangat erat dengan tujuan kepemimpinan itu sendiri. Kita mengenal istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur (Qs. Saba’/34: 15); negeri yang thayyib (baik) dan Tuhan pun mengampuni penduduknya.

Secara khusus ayat tersebut mendeskripsikan negeri Saba’ negeri yang dipimpin oleh Ratu Balqis yang sebelumnya menghamba pada matahari kemudian tunduk pada Allah Yang Maha Tinggi. Konteks ‘thayyib’ yang dimaksud ayat ini secara definitif berarti keamanan negeri dari hal-hal buruk,  limpahan sumber daya alam, pemimpin yang adil juga mengupayakan hal-hal baik demi kebaikan masyarakat.

Dengan demikian, rakyat pun mencintainya. Karena keduanya (baik pemimpin dan rakyatnya) saling mencintai, maka Allah  pun menurunkan rahmat dan ridha-Nya.

Ibnu Katsîr rahimahullah juga mengatakan, “Para ahli tafsir yang lain mengatakan, dahulu di negeri Saba’ sama sekali tidak ada lalat, nyamuk, kutu, dan hewan-hewan yang berbisa. Hal itu karena cuaca yang baik, alam yang sehat, dan penjagaan dari Allâh. Limpahan kenikmatan inilah bukti kasih sayang Allah agar mereka mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya”. (Tafsir Ibnu Katsîr, 6/507).

Penafsiran Ibn Katsir ini menghantarkan kita kepada pemahaman bahwa selain negeri Saba’, kita tahu bahwa banyak negeri yang diberikan keamanan termasuk Indonesia, negeri kita tercinta ini yang terkenal dengan limpahan sumber daya alam, rempah-rempah, jenis suku, ras, latar belakang budaya serta keramahan penduduknya. Itu semua adalah bukti kasih sayang Allah.

Terlepas apapun agama dan siapapun pemimpinnya, maka ketundukan dan rasa takut pada Tuhan sangat diperlukan agar tidak mengambil kebijakan yang betentangan dengan nilai moral kemasyarakatan.

Selain konsep kepemimpinan Islam di atas, jauh-jauh masa Rasulullah Saw pun telah memberikan penegasan melalui haditsnya bahwa kepemimpinan adalah soal kepercayaan. Kepercayaan dari orang lain bahwa yang dipilih sanggup memikul tugas yang tak mudah.

Karena tidak mudah dan memiliki tanggung jawab yang berat itulah, beliau berpesan, jika tidak memiliki kompetensi, maka jangan pernah meminta diri untuk memimpin suatu organisasi apalagi lingkup yang lebih luas lagi.

Nabi SAW pernah berpesan kepada Abdurrahman bin Samurah, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta jabatan (dalam pemerintahan). Jika engkau diberi jabatan tanpa meminta, engkau akan dibantu Allah untuk melaksanakannya. Tetapi, jika jabatan itu engkau dapatkan karena engkau memintanya, maka engkau sendiri yang akan memikul beban pelaksanaannya (tanpa dibantu Allah).” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits di atas cukup menjadi pengingat bahwa kepemimpinan sangat berbanding lurus dengan kecakapan, keahlian dan tentu saja; kejujuran. Poin penting terakhir inilah yang dimiliki Rasulullah Saw hingga beliau diberi gelar amanah (mampu mengemban kepercayaan dan menyampaikan kepada yang berhak) “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS al-Ahzab [33]: 21).

Selain keluhuran budi pekerti Rasulullah Saw dalam memimpin, sejarah mencatat dan al-Qur’an pun merekam sempurna bagaimana seorang Nabi yang semasa kecilnya ‘dibuang’ oleh saudara-saudaranya karena iri hati; Yusuf as mengajukan diri kepada raja untuk diposisikan menjadi bendaharawan Mesir karena kompetensi yang ia miliki. Andai saja, Yusuf as tidak memiliki keahlian dan sifat amanah, jabatan yang dibebankan padanya bukan menjadi anugerah tapi justeru musibah.

Allah SWT menyebutkan kisah Yusuf itu dalam Alquran, “Dan raja berkata, ‘Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku.’ Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata, ‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya.’ Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.’ Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS Yusuf [12]: 54-56).

Kisah Nabi Yusuf as yang terurai secara gamblang dalam Al-Qur’an memberikan kita gambaran bahwa kepemimpinan bukan hanya soal prestise/ kemewahan. Ia adalah tugas maha berat yang diemban seseorang untuk bisa memimpin rakyatnya agar bisa membuat kebijakan demi kebaikan dan berani menentang segala sesuatu yang keluar dari norma kebajikan.

Pengetahuan bahwa Tuhan senantiasa mengawasi setiap gerak laku seluruh makhluk-Nya dan ketakutan atas kebesaran-Nya sangat dibutuhkan. Tanpa rasa takut (khauf) pada-Nya, maka ia pun akan mudah melakukan hal-hal di luar batas kemanusiaan. Karenanya, jabatan bisa menjadi anugerah; ketika ia mampu melaksanakannya dengan penuh amanah. Ataupun bisa menjadi musibah ketika sudah tidak ada lagi rasa takut dan bersalah karena tuntutan agar hidup terlihat mewah.

Apapun itu, dalam kesempatan dan ‘kesempitan’ ini, kita harus tetap optimis dan yakin bahwa Indonesia mampu berjaya digdaya. Dengan cara apa? Belajar amanah pada setiap tanggung jawab yang dipercayakan pada kita; dari lingkup terkecil (keluarga) sebelum menapaki lingkup yang lebih luas lagi di kemudian hari. Bismillah, semoga!

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement