Rabu 09 Dec 2020 11:54 WIB

Turki Desak UE Pakai Akal Sehat dalam Sengketa Gas Alam

Turki terancam sanksi dari para pemimpin Uni Eropa (UE).

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.
Foto: Matthias Balk/dpa via AP
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki, Selasa (8/12), mendesak Uni Eropa (UE) agar menggunakan 'akal sehat' untuk mengakhiri perselisihan mengenai eksplorasi gas alam. Perselisihan ini telah memicu sengketa wilayah di Mediterania timur dan menimbulkan ancaman sanksi dari para pemimpin UE.

Ketika berbicara pada konferensi pers dengan mitranya dari Hongaria di Ankara, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menegaskan kembali bahwa Ankara ingin bergabung dengan EU sebagai anggota penuh. Cavusoglu juga mengatakan pernyataan EU, yang menuduh Ankara memicu ketegangan, adalah salah.

Baca Juga

"Negara anggota Uni Eropa, Yunani, melanjutkan langkah-langkah "provokatif" meskipun ada upaya diplomatik Turki," katanya.

Pada Senin (7/12), para menteri luar negeri EU mengatakan Turki telah gagal membantu mengakhiri perselisihan dengan negara-negara anggota Yunani dan Siprus mengenai potensi sumber daya gas.

 

Namun, mereka menyerahkan keputusan tentang sanksi pembalasan untuk dibahas pada pertemuan puncak Uni Eropa pada Kamis (10/12).

"Mereka harus adil dan jujur di sini. Jika mereka juga berpikir secara strategis dan dengan akal sehat, kita dapat meningkatkan hubungan," kata Cavusoglu. "Kita hanya bisa menyelesaikan masalah kita melalui dialog dan diplomasi.

"Kami ingin meningkatkan hubungan dengan UE. Kami tidak mengatakan ini karena ada pertemuan puncak atau karena ada sanksi dan agenda lain," tambahnya. "Kami selalu ingin meningkatkan hubungan kita berdasarkan keanggotaan penuh."

Turki, yang merupakan anggota NATO dan kandidat anggota UE, telah berselisih dengan Yunani dan Siprus atas jangkauan landas kontinen mereka di Mediterania timur. Ketegangan berkobar pada Agustus ketika Turki mengirim kapal survei Oruc Reis ke perairan yang diklaim oleh Yunani.

Setelah menarik Oruc Reis menjelang KTT Uni Eropa sebelumnya pada Oktober, Ankara mengirimkankembali kapal itu karena menganggap hasil KTT tersebut tidak memuaskan. Turki menarik kapal itu lagi minggu lalu.

Presiden Dewan Eropa Charles Michel memperingatkan Turki untuk tidak bermain "kucing-kucingan" dengan menarik kapal sebelum KTT Uni Eropa namun meluncurkan kembali kapalnya setelah KTT.

Prancis memimpin dorongan di kelompok negara-negara Uni Eropa tersebut untuk memberi sanksi kepada Turki. Tetapi, Presiden Tayyip Erdogan mengatakan pada Senin bahwa Turki tidak akan "tunduk pada ancaman dan pemerasan", sambil mengulangi seruan untuk dialog.

Cavusoglu dan Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian berbicara melalui telepon pada Selasa, kementerian luar negeri kedua negara mengatakan dalam pernyataan setelah sambungan telepon tersebut.

Le Drien mengatakan kepada Cavusoglubahwa hubungan konstruktif yang diperbarui dengan UE hanya dapat terjadi jika Ankara mengklarifikasi posisinya pada beberapa subjek, kata seorang juru bicara. Pembicaraan telepon itu, menurut sang juru bicara, berlangsung atas permintaan Turki.

Tanpa memberikan keterangan lebih lanjut, Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan kedua menlu dalam pembicaraan itu membahas masalah regional dan bilateral.

Sebelumnya, juru bicara Partai AK Erdogan mengatakan bahwa menggunakan "bahasa sanksi" terhadap Turki akan sama dengan kemenangan "rasis dan fasis" di Eropa.

"Menggunakan bahasa (seperti itu) ... adalah kemunduran dalam berpikir," kata Omer Celik dalam konferensi pers. "Uni Eropa harus bertindak dengan alasan yang kuat."

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement