Selasa 08 Dec 2020 05:49 WIB

Pilkada Depok Disebut Paling Rawan Penyebaran Covid-19

Ideas sebut Depok jadi wilayah paling berpotensi penyebaran Covid-19

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petugas memperlihatkan surat suara Pilkada Depok di gudang logistik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Selasa (24/11). Logistik yang sudah diterima di gudang logistik KPU Depok diantaranya  kotak suara, surat suara, hologram dan sampul. KPU Kota Depok menetapkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilkada Depok 2020 mencapai 1.229.362 pemilih yang tersebar di 11 kecamatan. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas memperlihatkan surat suara Pilkada Depok di gudang logistik Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Depok, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Selasa (24/11). Logistik yang sudah diterima di gudang logistik KPU Depok diantaranya kotak suara, surat suara, hologram dan sampul. KPU Kota Depok menetapkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pada Pilkada Depok 2020 mencapai 1.229.362 pemilih yang tersebar di 11 kecamatan. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengeluarkan Indeks Kerumunan Massa dan Keterpaparan Virus dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di tengah pandemi Covid-19. Indeks ini menyebutkan, Kota Depok sebagai wilayah dengan potensi penyebaran Covid-19 tertinggi se-Indonesia.

"Dari indeks yang kami formulasikan, didapatkan bahwa pilkada Depok menempati urutan pertama wilayah yang paling rawan dalam penyelenggaraan pilkada 2020 dengan angka indeks 64,90 poin," ujar peneliti IDEAS, Fajri Azhari dalam konferensi pers daring, Senin (7/12).

Ia melanjutkan, di urutan kedua wilayah potensi penyebaran Covid-19 tinggi ialah Kota Surakarta dengan angka indeks 62,90 poin. Berikutnya Bandar Lampung (51,04 poin), Kota Banjarmasin (47,19 poin), dan Kota Surabaya (46,58 poin).

Selanjutnya, di posisi keenam ada Kota Magelang (43,25 poin). Kemudian Kota Medan (42,69 poin), Kota Makassar (40,84 poin), Kota Semarang (38,33 poin) dan Kota Tangerang Selatan terkait wilayah dengan potensi penyebaran Covid-19.

Fajri menjelaskan, angka indeks tersebut diformulasikan dari beberapa data yang diolah, yakni daftar pemilih tetap (DPT) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), data luas wilayah, dan jumlah penduduk per daerah yang melakukan pilkada. Data ini lalu diintegrasikan dengan data kasus aktif dan kasus meninggal akibat Covid-19 per daerah pilkada.

“Setelah terkumpul datanya, kami analisis dengan memberi pembobotan dan standarisasi pada setiap variabel. Hasilnya didapatkan angka indeks yang kami beri nama indeks kerumunan massa dan keterpaparan virus,” kata Fajri.

Selain data tersebut, IDEAS menemukan hal lain yang membuat pilkada Kota Depok semakin rawan. Hal ini berdasarkan informasi dari seorang tracer (orang yang melacak pasien kontak erat) yang bertugas di satuan tugas penanganan Covid-19 Kota Depok.

Menurut tracer tersebut, terdapat dinamika penanganan yang berbeda antara Depok dan DKI Jakarta. Ada perlakuan yang menjadi penyebab dasar tinggi-rendahnya angka testing di kedua daerah tersebut.

Pertama, kuota pemeriksaan swab dan PCR di Depok terbatas dan hanya bisa melakukan dua kali tes dalam sepekan. Sebaliknya, Pemerintah DKI Jakarta mencari kasus kontak erat tanpa membatasi kapasitas pemeriksaan, bahkan apabila ada pasien yang ingin periksa di fasilitas kesehatan DKI Jakarta diperbolehkan secara gratis.

Kedua, pasien kasus kontak erat di DKI Jakarta cenderung lebih terbuka untuk memberikan informasi status kesehatan pasien Covid-19. Sementara di Depok cenderung lebih tertutup karena merasa malu dan didiskriminasikan dengan status orang terpapar Covid-19.

Dengan demikian, IDEAS memberikan rekomendasi kebijakan penarikan rem darurat (emergency brake) bagi seluruh pemerintah daerah yang menggelar pilkada, meskipun tidak memiliki Indeks Kerumunan Massa dan Keterpaparan Virus sebesar Kota Depok. Hal ini dilakukan jika dalam beberapa hari setelah hajatan demokrasi di daerah tersebut terlihat indikasi lonjakan kasus.

“Jika terdapat lompatan kasus harian pemerintah daerah diharapkan untuk menarik rem darurat atau kembali ke era PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dengan pelaksanaan yang tegas," kata Fajri.

Apabila kebijakan ini tidak dilaksanakan, sistem kapasitas kesehatan akan penuh dan tidak akan mampu menampung pasien Covid-19.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement