Sabtu 05 Dec 2020 21:36 WIB

Kasus COVID-19 Terus Naik, Pengiriman TKI Perlu Ditunda?

Kasus COVID-19 Indonesia Terus Naik, Apakah Pengiriman TKI Perlu Ditunda?

Red:

Mulai tanggal 4 Desember hari ini, Taiwan menangguhkan kedatangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) selama dua minggu karena lonjakan jumlah infeksi virus corona di kalangan pekerja migran yang tiba dari Indonesia.

Pelarangan tersebut dilansir oleh kantor berita Focus Taiwan awal minggu ini (30/11), sesuai keterangan dari Pusat Komando Epidemi (CECC) Taiwan.

Setelah 14 hari, larangan ini masih bisa diperpanjang, menyesuaikan dengan angka kasus COVID-19 di Indonesia.

Keputusan diambil oleh CECC setelah diketahui 20 dari 24 penularan baru COVID-19 di Taiwan ditemukan di pekerja migran asal Indonesia.

Berdasarkan data CECC, sepanjang November 2020 Taiwan menerima 677 orang TKI, sehingga larangan TKI masuk selama dua minggu bagi TKI diprediksi akan berdampak bagi 1.350 pekerja yang sudah siap berangkat.

Calon TKI asal Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat, Mumin, membenarkan penangguhan keberangkatannya ke Taiwan sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

"Tiba-tiba ada pengumuman dari perusahaan bahwa keberangkatan diundur sampai batas waktu yang belum jelas," tutur Mumin seperti dikutip Tribunnews.

Sementara majikan di Taiwan yang terdampak kebijakan penangguhan ini diminta oleh CECC untuk mempekerjakan pekerja migran dari negara lain atau pekerja migran yang sudah berada di Taiwan.

Sampai akhir November 2020, CECC Taiwan mencatat secara umum ada 675 kasus COVID-19 di negara itu, 583 di antaranya merupakan kasus impor.

Kasus impor terbesar berasal dari Amerika Serikat sebanyak 109 kasus, yang kedua disumbang oleh Indonesia sebesar 103 kasus.

Kemarin (03/12), Indonesia mencatat rekor angka penularan harian tertinggi yakni 8.369 kasus, sehingga total kasus COVID-19 di Indonesia saat artikel ini diturunkan adalah sebanyak 557.877 kasus dengan angka kematian 17.355 orang.

 

85 orang TKI di Taiwan positif COVID-19

Merespon jumlah TKI pasien COVID-19 di Taiwan yang melonjak, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memastikan ada 85 orang pekerja migran yang terkonfirmasi.

"Dari 85 PMI, 22 PMI sudah dikantongi namanya oleh BP2MI, 63 PMI belum terkonfirmasi, belum mendapatkan data siapa saja mereka dari CDC," kata Kepala BP2MI, Benny Rhamdani dalam konferensi pers virtual, Rabu (02/12).

Terkait pelarangan sementara pekerja migran Indonesia, BP2MI mengaku telah melakukan pertemuan dengan TETO, perwakilan otoritas Taiwan di Indonesia, untuk memperoleh klarifikasi sekaligus menyatakan keseriusan Indonesia dalam penanganan COVID-19.

"Bagi kami, adanya 85 PMI yang terkonfirmasi positif di Taiwan adalah masalah yang sangat serius," katanya.

"BP2MI akan melakukan berbagai upaya untuk melakukan pelindungan terhadap PMI dan untuk menjaga hubungan baik Indonesia dan Taiwan," kata Benny.

BP2MI menurut Benny sudah mengeluarkan Surat Edaran pada 9 September lalu yang mewajibkan tenaga kerja Indonesia tes PCR sebelum berangkat ke negara penempatan, bahkan sebelum Otoritas Taiwan mengeluarkan ketentuan untuk PCR.

Benny juga meminta pihak Taiwan menambah kapasitas tempat isolasi bagi TKI yang baru tiba di Taiwan mengingat jumlahnya akan melebihi kapasitas kamar isolasi yang ada sekarang yakni 1.500 kamar.

'Kami sangat capek'

 

Berbeda dengan Mumin yang masih harus menunggu penempatan kerja di Taiwan, Arumy Marzudhy baru tiba kembali di Indonesia Maret lalu dari Singapura setelah empat tahun lamanya bekerja di sana.

Menurut perempuan yang sekarang bermukim di Blitar, Jawa Timur ini, menjadi pekerja migran di masa pandemi COVID-19 tidaklah mudah.

Pembatasan-pembatasan perjalanan dengan kendaraan umum yang diberlakukan saat pandemi, misalnya, membuat banyak pekerja migran yang permohonan liburnya dipersulit sang majikan.

"Alasannya, 'nanti kamu pulang membawa penyakit, membawa virus', akhirnya banyak yang enggak dikasih libur," kata Arumy kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Selain itu, Arumy menceritakan bahwa beban kerjanya pun semakin bertambah.

"Saat mulai work from home itu, majikan-majikan yang dulunya bisa ngantor akhirnya kerja dari rumah, otomatis ... kalau majikan mengumpul semua di rumah, beban pekerjaan semakin bertambah, anak-anak juga enggak boleh dibawa bermain ke luar rumah, enggak bisa ke taman juga."

"Secara fisik dan psikis, kami sangat capek," tutur perempuan yang sebelumnya sempat sepuluh tahun bekerja di Hongkong ini.

Saat ditanya apakah ia merasa lebih aman berada di Singapura dibanding Indonesia, menurutnya sangat relatif.

"Di Blitar tempat saya tinggal karena orangnya lebih sedikit dibanding Singapura ya menurut saya aman-aman saja," ujarnya.

"Tapi kalau soal disiplin pada protokol kesehatan, memang benar di Singapura lebih taat, sementara di sini saya lihat orang-orang kebanyakan abai."

'Kebijakan yang sembrono'

 

Menanggapi pelarangan sementara pengiriman TKI ke Taiwan, Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan ini seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah Indonesia merefleksikan kebijakan penempatan TKI di masa pandemi.

Ia menambahkan, sejak awal pandemi Migrant Care sudah menyerukan pemerintah untuk menghentikan pengiriman TKI.

Bulan Juli lalu, Kementerian Ketenagakerjaan pernah membuka 14 pintu negara sebagai tujuan pengiriman TKI, salah satunya adalah Taiwan.

Dari laporan CNN Indonesia disebutkan keputusan tersebut sebagai upaya mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional di tengah pandemi COVID-19.

"Setelah sempat dihentikan pada Maret lalu, atas nama kenormalan baru dan pemulihan ekonomi, pemerintah kemudian membuka lagi penempatan meskipun selektif ke 14 negara."

"Menurut saya ini hal yang sembrono karena Indonesia saat ini kurvanya belum menurun, probabilitas penularannya sangat tinggi sekali lantas dikirim ke luar negeri ... ini teman-teman pekerja migran ini seperti kelinci percobaan," kata Wahyu.

Meskipun mengerti risiko kesehatan dalam penempatan di luar negeri pada masa pandemi, Arumy menilai dilema kebutuhan finansial para TKI juga harus dipikirkan.

"Jika keberangkatannya ditunda, saya membayangkan bagaimana nasib mereka yang visanya sudah siap, yang punya tanggungan utang di PJTKI, yang oleh keluarganya sudah diharapkan dapat gaji dan membantu keluarganya."

"Mungkin kalau mau diberangkatkan, jangan langsung sekian ratus orang tapi bertahap. Tapi kalau mau distop ya distop total, enggak seperti sekarang, ada yang bisa berangkat ada yang nggak bisa. Kayak pilih kasih," ucap Arumy.

Jika pemberangkatan ditunda, Arumy hanya berharap ada bantuan dari pemerintah.

"Kalau mau dihentikan, pemerintah ada tidak solusi misalnya untuk memberikan modal usaha atau diberi pelatihan-pelatihan? Sejauh ini kan belum."

 

Namun, Wahyu menilai, persoalan finansial ini bukannya tanpa solusi. Ia merujuk pada anggaran pemulihan ekonomi yang di dalamnya terdapat komponen anggaran perlindungan sosial.

"Jalan keluarnya adalah pemerintah juga harus punya perspektif perlindungan pekerja migran dalam alokasi [anggaran] perlindungan sosial, karena berdasarkan pantuan kami selama pandemi kebijakan perlindungan sosial tidak banyak menyentuh pekerja migran atau pekerja migran yang pulang," ujar Wahyu.

Wahyu menambahkan dari 166.000 orang TKI yang pulang, sebagian besarnya tidak mendapatkan bantuan sosial dalam skema jaring pengaman sosial dengan alasan mereka tidak terdaftar di data terpadu kesejahteraan sosial.

"Padahal data terpadu kesejahteraan sosial ini terakhir kali diupdate tahun 2015."

"Kalau ada alokasi [anggaran] yang signifikan di beberapa daerah basis pekerja migran untuk perlindungan sosial, mereka akan tetap bisa berdaya," pungkas Wahyu.

Ikuti berita menarik lainnya di ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement