Jumat 04 Dec 2020 10:33 WIB

Pengamat: Ali Kalora Jadi Simbol Perlawanan

Aksi terorisme ini merupakan residu dari konflik masa lalu di Poso yang tak tuntas

Rep: Andrian Saputra/ Red: A.Syalaby Ichsan
Sebuah mobil pasukan Brimob Polri melintas di sekitar perkampungan warga di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (29/11/2020). Aparat keamanan masih memburu para pelaku penyerangan yang diduga dilakukan kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora yang terjadi pada Jumat (27/11/2020) lalu yang menewaskan empat orang warga desa setempat
Foto: ANTARA/Faldi/Mohamad Hamzah
Sebuah mobil pasukan Brimob Polri melintas di sekitar perkampungan warga di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (29/11/2020). Aparat keamanan masih memburu para pelaku penyerangan yang diduga dilakukan kelompok teroris MIT pimpinan Ali Kalora yang terjadi pada Jumat (27/11/2020) lalu yang menewaskan empat orang warga desa setempat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menjelaskan, sosok Ali Kalora sudah seperti simbol baru bagi perlawanan kelompok-kelompok tersebut kepada rezim.

“Saya lihat Ali Kalora ini menjadi simbol perlawanan terhadap rezim yang itu kemudian dia menggunakan narasi-narasi jihad fardhiyah, bahwa penting ini jihad. Ada ketidaknyamanan warga Poso terhadap penanganan keamanan, jadi ekspresi itu juga bisa," kata Huda kepada Republika.

Meski anak buah kelompok MIT dibawah komando Ali Kalora diperkirakan hanya belasan orang saja, kelompok MIT di bawah Ali Kalora disebut memiliki militansi dan kemampuan survival tinggi di pedalaman.

Menariknya lagi, Huda menjelaskan, ada satu di antara anak buah Ali Kalora yang bukan asli Poso. Dia merupakan warga Banten yang gagal bergabung dengan ISIS. Menurut Huda, ini juga menunjukan gagalnya pola pencegahan.

"Mereka pasti akan berupaya merekrut, itu pasti. Jumlah mereka itulah sekarang hanya belasan. Tapi, ada satu di antara mereka itu deportan dari Banten, kegagalan proses mau bergabung ke ISIS, deportan itu gagal lalu melalui jaringan sesama ISIS-nya itu dia gabung dengan kelompok MIT. Artinya aparat sudah tahu orangnya, pernah dapat binaan tapi ternyata gagal," kata dia. 

Kekuatan yang tak sebanding

Pengamat Terorisme Haris Abu Ulya menilai, aksi terorisme dan ekstremisme di Sulteng kerap terjadi tak lepas dari penyelesaian kasus Poso yang belum selesai. Dia menjelaskan, jaringan-jaringan teroris dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) terus berupaya menebarkan aksi terornya.

Jika diukur dari segi kemampuan fisik, logistik, dan persenjataan, dia menilai, masalah MIT seharusnya bisa diselesaikan negara. Dia menegaskan, kombatan MIT tidak memiliki sejumlah kemampuan yang sebanding dengan aparat keamanan RI.

“Faktanya ini, kan, orang-orang DPO (daftar pencarian orang), sementara mereka butuh logistik, maka mereka akan merespons keras kalau tak dapat. Pertanyaannya, mengapa mereka bisa lebih keras beraksi sementara keterbatasan mereka banyak?” kata dia.

Jika ditarik ke belakang, dia menilai, aksi terorisme yang terjadi ini merupakan residu dari konflik masa lalu di Poso yang tak tuntas. Selanjutnya, kata dia, konflik ini diteruskan oleh Ali Kalora. Haris mempertanyakan mengapa kelompok sipil dengan kekuatan terbatas ini justru seolah menjadi hal yang sulit dituntaskan pemerintah.

“Harusnya aparat yang lebih mengerti taktik perang. Maka, kemampuan untuk survive di tengah hutan, itu sangat mungkin dilakukan oleh pasukan-pasukan khusus. Mengapa tidak bisa dituntaskan?” ujar dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement