Kamis 03 Dec 2020 22:32 WIB

Pemimpin Dunia Sebut Laut jadi Kunci untuk Atasi Krisis Iklim

Di bawah julukan 'ekonomi biru', Indonesia tergabung dalam Ocean Panel.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
World Resources Institute
World Resources Institute

Mencakup lebih dari 70% permukaan bumi, lautan memiliki potensi besar dalam melawan perubahan iklim, dan diyakini mampu mendorong ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Hal inilah yang menjadi penilaian penuh harapan dari 14 negara pesisir dan lautan yang tergabung dalam High-Level Panel for A Sustainable Ocean Economy atau dikenal dengan Ocean Panel.

Kerja sama global yang terdiri dari hampir 40% garis pantai dunia itu telah mengumumkan komitmen mereka pada Rabu (02/12), dalam mengelola 100% perairan laut nasional secara berkelanjutan pada tahun 2025.

Perangi perubahan iklim sambil menumbuhkan ekonomi

Komitmen ini mencakup berbagai tindakan yang dapat dilakukan guna mengurangi perubahan iklim, karena lautan yang memanas telah menjerumuskan negara-negara pesisir ke dalam keadaan darurat iklim.

Ocean Panel mencatat bahwa perlindungan bakau, lamun, dan rawa asin yang membentuk ekosistem ‘karbon biru’ dapat membantu penyerapan karbon guna memenuhi target pengurangan emisi yang tertuang dalam Perjanjian Iklim Paris 2050 – yaitu membatasi pemanasan global hingga 1.5 derajat celcius.

“[Karbon biru] dapat menyerap karbon dioksida dengan kecepatan hingga empat kali lipat dari hutan daratan,” kata Janis Searles Jones, CEO Ocean Conservancy. Ocean Conservancy adalah sebuah LSM yang berdedikasi melindungi lautan dan berbasis di Amerika Serikat (AS).

Guna mewujudkan target tahun 2050 itu, peningkatan energi laut bersih seperti tenaga angin lepas pantai dan energi pasang surut untuk selanjutnya juga akan ditingkatkan. Rencana berkelanjutan dari Ocean Panel akan mencakup target-target capaian, insentif, dan peningkatan infrastruktur yang dimungkinkan menghasilkan 40 kali lipat keluaran energi laut yang ada saat ini.

Rencana berkelanjutan itu juga bertujuan untuk mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, mengatasi polusi, dan menghentikan penangkapan ikan ilegal dan berlebihan yang meluas. Salah satu contohnya terjadi di Kepulauan Galapagos. Kehidupan laut yang beraneka ragam di sana terancam karena kapal pukat Cina menjadi sorotan atas penjarahan di perairan Amerika Latin.

Pada intinya, tujuan akhir dari komitmen tersebut adalah untuk menghidupkan kembali ekonomi dan budaya berbasis kelautan yang bergantung pada perikanan dan pariwisata secara berkelanjutan.

Sebagaimana dirinci dalam beberapa laporan khusus Ocean Panel yang menginformasikan pengumuman komitmen ini, ekonomi kelautan yang dijuluki ‘ekonomi biru’ semacam ini dinilai akan menciptakan 12 juta pekerjaan bersih serta menghasilkan hingga enam kali lebih banyak makanan dari laut pada tahun 2025.

“Kita harus memutuskan antara melindungi laut atau justru menggunakannya,” kata Jane Lubchenco, seorang ahli ekologi kelautan dan salah satu ketua kelompok ahli dari Ocean Panel. Lubchenco juga pernah menjabat sebagai kepala Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS selama masa jabatan pertama presiden AS Barack Obama. Ia menegaskan bahwa lautan harus dilihat “sebagai solusi, bukan hanya sebagai korban.”

Negara-negara yang tergabung dalam Ocean Panel tersebut di antaranya Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau, dan Portugal. Mereka juga ingin menginspirasi para pemimpin dari semua negara pesisir dan laut lainnya untuk turut berkomitmen mewujudkan 100% pengelolaan laut berkelanjutan pada tahun 2030.

“The Ocean Panel menyerukan kepada setiap pemimpin negara pesisir dan laut untuk bergabung bersama kami dan mewujudkan 100% tujuan menjadi kenyataan,” ujar Tommy Remengesau Jr., Presiden Palau yang juga mengepalai Ocean Panel.

Bisakah target yang tidak mengikat secara hukum terwujud?

Dibentuk pada tahun 2018, Ocean Panel telah menunjukkan banyak ambisi awal, termasuk tujuan perlindungan 30% lautan dunia pada tahun 2030. Target ini menjadi siginfikan karena sebagai besar laut lepas tunduk pada perjanjian yang sangat kompleks.

Namun, meskipun komitmen saat ini tidak mengikat secara hukum, Jane Lubchenco mengatakan bahwa kesepakatan sukarela sejatinya merupakan sebuah langkah maju ke depan.

“Mereka adalah pembuat keputusan,” katanya merujuk pada presiden dan perdana menteri yang menandatangani komitmen yang dijuluki ‘transformasi’ itu. “Mereka memiliki kekuatan untuk memenuhi komitmen yang mereka umumkan,” tambahnya.

Di saat para ilmuwan mencoba mendorong penelitan dan rekomendasi mereka ke ranah kebijakan, Ocean Panel kata Lubchenco telah bekerja selama dua tahun untuk “menghubungkan pengetahun itu dengan kebijakan dan tindakan.”

Namun, meskipun pengumuman komitmen ke-14 negara menjadi “momen penting dalam upaya internasional dalam mengelola dan melindungi laut”, ada beberapa ketakutan bahwa perubahan pemerintahan mungkin tidak mempertahankan komitmennya. Demikian disampaikan Peter Thompson, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Laut yang juga merupakan anggota pendukung dari Ocean Panel. Menurutnya, pemantauan terhadap hal tersebut sangat diperlukan.

Lebih jauh, sebuah editorial di jurnal Nature yang diterbitkan saat pengumuman komitmen Ocean Panel juga menyebutkan bahwa “pengelolaan laut yang berkelanjutan juga membutuhkan sistem tata kelola yang berkelanjutan.”

Liga negara-negara kelautan

Komitmen Ocean Panel yang disebut oleh Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg, sebagai “salah satu peluang terbesar di zaman ini,” telah memungkinkan adanya kerja sama antara kekuatan ekonomi utama seperti Kanada dengan negara-negara kepulauan pasifik kecil seperti Palau, yang memiliki populasi sekitar 17.000 orang.

“Ancaman perubahan iklim terhadap lautan merupakan tantangan bersama yang membutuhkan tindakan kolektif,” kata Presiden Namibia Hage G. Geingob dalam pernyataan Ocean Panel. “Oleh karena itu, kami bergandengan tangan dengan komunitas global dalam memetakan jalan menuju masa depan rendah karbon dan tahan iklim demi laut sehat dan kesejahteraan umat manusia,” tambahnya.

Meningat pandemi COVID-19 masih mewabah, Ocean Panel memiliki tujuan akhir ekonomi setara dengan lingkungan.

“Kami memahami betapa rentannya kita terhadap guncangan keuangan dan krisis kesehatan,” kata Presiden Palau Tommy Remengesau Jr. merujuk pada pandemi corona yang masih melanda dunia. “Kita membutuhkan laut lebih dari sebelumnya guna mendorong pemulihan jangka panjang yang berkelanjutan,” tambahnya.

(gtp/ha)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement