Kamis 03 Dec 2020 14:39 WIB

Kelompok Has Asasi Desak Bangladesh Setop Relokasi Rohingya

Bangladesh mengatakan akan mengangkut pengungsi ke Bhasan Char

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Esthi Maharani
Foto dokumentasi dari Bangladesh Coast Guard saat mengevakuasi 382 imigran Rohingya yang terdampar di pesisir perairan dekat Cox
Foto: EPA-EFE/BANGLADESH COST GUARD HANDOUT
Foto dokumentasi dari Bangladesh Coast Guard saat mengevakuasi 382 imigran Rohingya yang terdampar di pesisir perairan dekat Cox

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bangladesh telah memulai persiapan untuk memindahkan ribuan pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil di lepas pantainya. Meski begitu, tindakan ini mendapat tentangan dari banyak pengungsi dan kelompok hak asasi manusia (HAM) yang mendesak untuk menghentikan relokasi.

"Bangladesh harus menghentikan proses relokasi yang terburu-buru ini. Tidak ada satu pun pengungsi yang boleh dipindahkan sampai semua masalah HAM terselesaikan," kata Direktur Regional Fortify Rights, Ismail Wolff, dilansir Aljazirah, Kamis (3/12).

Bangladesh mengatakan akan mengangkut pengungsi ke Bhasan Char, sebuah pulau di Teluk Bengal yang memakan waktu berjam-jam dari daratan dengan perahu. Relokasi ini akan mengurangi kepadatan kamp-kampnya, Cox's Bazar. Cox’s Bazar telah menjadi rumah dari satu juta warga Rohingya, anggota minoritas Muslim yang melarikan diri dari Myanmar.

Kelompok kemanusiaan dan hak asasi manusia telah mendesak penghentian langkah tersebut. Mereka mengatakan pulau tersebut tidah pernah dihuni sehingga rentan terhadap badai. Sementara itu, pemerintah tidak mengizinkan PBB untuk melakukan penilaian keamanan.

Juru Kampanye Asia Selatan Amnesty International, Saad Hammadi mendesak pihak berwenang Bangladesh agar segera menghentikan relokasi pengungsi ke Bhashan Char.

“Ini menimbulkan keprihatinan besar tentang pemantauan HAM independen,” kata Hammadi dalam sebuah pernyataan.

Seorang pejabat senior lokal tanpa menyebut nama  mengatakan kepada kantor berita Reuters dalam sebuah pesan sudah banyak keluarga yang dipindahkan dari kamp-kamp itu pada Rabu malam. Sayangnya dia menolak untuk menyebutkan jumlahnya.

Sebuah organisasi kemanusiaan internasional mengatakan ratusan pengungsi yang telah diidentifikasi bersedia pergi ke pulau itu. Mereka dibawa ke pusat transit pada Rabu dengan beberapa insentif yang ditawarkan termasuk pembayaran tunai. Wakil Pejabat Pemerintah Bangladesh, Mohammed Shamsud Douza yang bertanggung jawab atas pengungsi menjelaskan perumahan telah dibangun untuk 100.000 orang. Pihak berwenang ingin memindahkan mereka selama musim kemarau, mulai November sampai April ketika laut tenang.

"Kami tidak akan memaksa siapa pun untuk pergi ke sana," ujar Douza melalui telepon.

PBB mengatakan dalam sebuah pernyataan pihaknya diberi informasi terbatas tentang relokasi dan tidak terlibat dalam persiapan. Juru Bicara, Louise Donovan mengatakan kepada Reuters pemerintah belum memberikan izin kepada PBB untuk melakukan penilaian teknis atau untuk mengunjungi pengungsi yang sudah ditahan di sana.

Dalam sebuah pernyataan, PBB mengatakan relokasi ke Bhasan Char harus didahului oleh penilaian perlindungan teknis yang komprehensif.

Lebih dari 300 pengungsi dibawa ke pulau itu awal tahun ini setelah upaya melarikan diri dari Bangladesh ke Malaysia dengan perahu gagal dan mereka terdampar di laut selama berbulan-bulan. Mereka ditahan di luar keinginan mereka dan diadukan pelanggaran hak asasi manusia. Menurut kelompok HAM, beberapa melakukan aksi mogok makan.

Beberapa Rohingya yang tidak ingin disebutkan namanya menjelaskan kepada Aljazirah pada Oktober bahwa pria, wanita, dan bahkan anak-anak dipukuli dengan tongkat oleh perwira angkatan laut Bangladesh setelah mereka melakukan mogok makan selama empat hari bulan lalu.

Pada September, lima organisasi hak asasi mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Bangladesh, Masud Bin Momen untuk meminta akses ke pulau yang rawan banjir itu.

“Rohingya di kamp-kamp di Cox's Bazar menghadapi banyak masalah dan masalah. Kamp-kamp itu penuh sesak, tetapi memindahkan orang ke pulau terpencil di mana mereka tidak memiliki perlindungan atau dukungan dari badan-badan kemanusiaan internasional bukanlah jawabannya,” kata Wolff.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement