Kamis 03 Dec 2020 13:04 WIB

Agar Inklusi Berdampak pada Ekonomi, Intip 3 Rekomendasi Ini

Indeks literasi dan indeks inklusi keuangan di Indonesia meningkat siginifikan.

Karyawan melayani nasabah bank. ilustrasi
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Karyawan melayani nasabah bank. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto merekomendasikan tiga strategi agar inklusi keuangan berkontribusi dan berdampak positif terhadap perekonomian domestik. Tiga rekomendasi ini dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

"Apa yang harus dilakukan ke depan? Ada tiga Go. Yang pertama Go Digital. Bagaimana kita bisa memanfaatkan seoptimal mungkin perkembangan digital itu bisa buat inklusi ke depan lebih cepat. Tanda-tandanya sudah kelihatan dari berbagai macam statistik di sektor keuangan di mana kelihatan bahwa seiring digitalisasi baik dalam sistem pembayaran dan lainnya, itu buat inklusi keuangan semakin cepat," ujar Eko dalam diskusi daring bertajuk "Menakar 9 Tahun Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Menjaga Inklusi Jasa Keuangan Indonesia" di Jakarta, Kamis (3/12).

Baca Juga

Strategi kedua adalah Go Rural. Menurut Eko, inklusi keuangan juga harus merata ke daerah-daerah dan tidak hanya berpusat di kota-kota besar saja.

"Jangan hanya di kota-kota tadi, Jakarta atau kota-kota yang berbasis minyak itu cepat inklusinya, tapi kita juga menyasar ke daerah-daerah yang mungkin basisnya lebih ke pertanian dan berbagai macam sektor yang membutuhkan sentuhan kebijakan yang lebih banyak," kata Eko.

Terakhir, lanjut Eko, untuk mendorong inklusi keuangan ke depan supaya betul-betul berkontribusi ke ekonomi harus juga Go Sectoral alias tidak timpang antar sektor. Jika sebagian besar kredit hanya mengalir ke industri dan perdagangan, ketika pandemi seperti saat ini pertumbuhan kredit industri perbankannya tertekan.

Menurut Eko, seandainya diversifikasi kredit bisa mengalir ke hampir semua sektor secara proprosional, dampak dari pandemi terhadap sektor perbankan tidak akan sebesar saat ini.

"Kalau ketiga strategi ini kita dorong, jadi tidak hanya output bahwa inklusi keuangan meningkat tapi juga harus ke impact itu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga kita bisa dorong ekonomi di atas lima persen, baru pada titik itu peran dari inklusi keuangan dan juga peran OJK kita katakan sangat strategis dalam perekonomian ini. Jadi tidak hanya menghimpun dana, tapi juga menyalurkan dana dalam bentuk ke sektor riil yang kontributif terhadap pertumbuhan ekonomi," ujar Eko.

Berdasarkan hasil survei OJK pada 2019, indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan mengalami kenaikan dibandingkan hasil survei pada 2016. Indeks literasi keuangan dan indeks inklusi keuangan masing-masing mencapai 38,03 persen dan 76,19 persen, meningkat dibandingkan 2016 yang mencapai 29,7 persen dan 67,8 persen.

Eko menuturkan literasi dan inklusi antarsektor jasa keuangan saat ini masih timpang. Untuk literasi keuangan, sebagian besar masih didominasi perbankan sebesar 36,12 persen, sedangkan untuk pasar modal hanya 4,92 persen. Begitu pula dari sisi inklusi keuangannya, untuk perbankan mencapai 73,88 persen sedangkan pasar modal hanya 1,55 persen.

"Perbedaan ini saya rasa jadi gambaran orang lebih akrab dengan perbankan dibandingkan pasar modal. Ke depan, kita mau dorong idealnya masing-masing ini angkanya sama-sama tinggi. Kita perlu lakukan upaya bagaimana literasi keuangan ke depan tidak hanya tentang perbankan tapi juga asuransi , pasar modal, dan sektor-sektor yang lain atau entitas industri lain seperti pegadaian, pembiayaan, dan lainnya. Saya rasa strategi per sektor perlu dikembangkan," kata Eko.

Selain itu, ia berharap ada strategi untuk meningkatkan inklusi keuangan berdasarkan regional. Upaya peningkatan inklusi keuangan bisa lebih difokuskan kepada provinsi-provinsi yang indeks inklusi keuangannya masih di bawah 75 persen, tidak lagi pada provinsi-provinsi seperti DKI Jakarta misalnya yang sudah mencapai 95 persen.

Untuk indeks inklusi keuangan sendiri, meski saat ini sudah menunjukkan kemajuan hingga mencapai 76 persen, angka tersebut masih kalah dibandingkan negara tetangga seperti Thailand 82 persen dan Malaysia 85 persen. Menurut Eko, Indonesia setidaknya harus punya target, misalnya minimal tidak kalah dari Malaysia.

"Kenapa ini penting? Karena kita lihat ini nanti berkaitan dengan support sektor keuangan kepada pertumbuhan ekonomi. Misalnya rasio kredit terhadap GDP ini masih jauh sekali. Indonesia mungkin masih di bawah 40 persen, sekitar 37 persen, sementara Malaysia itu sudah 120 persen, jadi lebih tinggi kredit yang mengalir dibandingkan GDP-nya. Atau Thailand tadi yang inklusinya 82 persen, ternyata kredit terhadap GDP mereka sudah sampai 140 persen. Vietnam sekarang juga sudah di atas 100 persen," ujar Eko.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement