Kamis 03 Dec 2020 05:13 WIB

Stop Ekspor Benih Lobster: Koruptor Resah, Vietnam Gelisah

Walau menyetop ekspor benih lobster, nelayan Indonesia masih bisa makan.

Ilustrasi ekspor benih lobster
Foto: Tim infografis Republika
Ilustrasi ekspor benih lobster

REPUBLIKA.CO.ID, Lobster kembali menjadi trending topic di berbagai media nasional Tanah Air. Penyebabnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap KPK terkait kasus suap bisnis benih bening lobster (BBL).

Permen-KP No 12 Tahun 2020 yang mengatur ekspor (bisnis) BBL bertujuan untuk mengurangi penyelundupan BBL keluar negeri. Namun kenyataannya, justru menjadi ladang atau alat baru melakukan korupsi berjamaah melalui monopoli layanan kargo ekspor BBL. Kejadian ini tentu membuat banyak pihak kecewa, terutama nelayan yang sekali lagi dihadapkan pada ketidakjelasan nasib akibat menterinya tersandung kasus korupsi.

Tidak berfungsinya Permen-KP No 12 Tahun 2020 yang disahkan 5 Mei 2020 menandakan, aturan ini memang dibuat bukan untuk kepentingan nelayan, melainkan kepentingan pejabat serta pengusaha yang dekat dengan para pembuat kebijakan. Dengan begitu, jika setiap peraturan dibuat seperti Permen-KP No 12 Tahun 2020, itu artinya pejabat akan selalu menjadi mainan bagi pengusaha nakal dengan berbagai tawaran ynag membuat mata jadi buta.

Penulis menilai, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, harus mengambil langkah tegas dan strategis guna menyelesaikan permasalahan pengelolaan lobster. Yakni, menyetop ekspor BBL hingga jangka waktu tak ditentukan, merevisi Permen-KP No 12 Tahun 2020, membuat peta jalan pengembangan lobster nasional, dan pengganti Menteri Edhy haruslah berlatar belakang akademisi bukan kader partai.

Pertama, ekspor BBL sementara dihentikan dulu, karena terdapat ketidakjelasan dalam pengelolaan ekspornya. Tujuannya, agar negara tidak rugi besar dan melindungi sumber daya lobster Indonesia dari eksploitasi tanpa pedoman yang jelas.

Di samping itu, menyetop ekspor BBL tidak membuat Indonesia rugi serta nelayan masih bisa makan. Justru, mungkin Vietnam yang sedikit gelisah karena pasokan benih mereka selama ini 90 persen berasal dari Indonesia.

Kedua, Permen-KP No 12 Tahun 2020 harus direvisi. Ini harga mati jika ingin pengelolaan lobster bisa maksimal dan menyejahterakan.

Belajarlah dari Vietnam, kebijakan pengelolaan lobster yang mereka buat mampu menjadikan Negeri Paman Ho itu pengekspor lobster hasil budi daya terbesar di dunia (1.500 ton/tahun) walaupun hanya memiliki sumber daya lobster empat juta ekor per tahun.

Artinya, kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan dengan tepat pasti menghasilkan sesuatu yang besar dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Revisi Permen-KP No 12 Tahun 2020 mencakup menyetop ekspor BBL, dukungan Iptek terkait pengembangan budi daya lobster nasional, pusat pengembangan lobster nasional, serta mempermudah masyarakat (pembudi daya) mengakses izin usaha budi daya.

Ketiga, peta jalan pengelolaan lobster Indonesia belum ada. Permen-KP No 12 Tahun 2020 berjalan tanpa panduan dan arah jelas sehingga hasilnya mengecewakan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seharusnya telah memiliki peta jalan. Peta jalan pengelolaan lobster berupa sea farming lobster, yang bertujuan mengawal dan mengintegrasikan aspek kajian, teknis (teknologi), bisnis, lingkungan, serta sosial dan kelembagaan menjadi satu kesatuan.

Keempat, Presiden Jokowi harus mencari menteri kelautan dan perikanan yang baru, dengan latar belakang seorang akademisi dan paham mengenai potensi serta permasalahan kelautan dan perikanan di Indonesia. Tujuannya agar kebijakan yang dibuat terlepas dari kepentingan dan benar-benar untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya nelayan.

Diharapkan, kebijakan yang dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan berdasarkan pesanan kepentingan. Selain itu, menteri dengan latar belakang akademisi akan melihat segala permasalahan, dengan pendekatan iptek sehingga kebijakan yang dibuat berdasarkan pendekatan ilmiah.

Terakhir, menteri kelautan dan perikanan berlatar belakang akademisi, memiliki posisi tawar yang kuat sehingga pengusaha nakal tidak akan berani menjadikan menteri baru sebagai mainan yang bisa dikontrol dengan uang. Permen-KP No 12 Tahun 2020 seharusnya dapat menjadi solusi pengelolaan sumber daya lobster Indonesia. Namun kenyataannya, justru menjadi alat baru untuk melakukan kegiatan korupsi berjamaah melalui monopoli layanan kargo ekspor BBL.

Pemerintah dalam hal ini Presiden, harus mengambil langkah strategis guna menyelesaikan permasalahan pengelolaan lobster ini. Pengelolaan sumber daya lobster yang kurang tepat akan selalu membuat bisnis lobster panas serta tidak menyejahterakan.

PENGIRIM: Muhammad Qustam Sahibuddin, Peneliti PKSPL-LPPM IPB University

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement