Rabu 02 Dec 2020 21:30 WIB

Pemberdayaan Suku Anak Dalam Perlu Kerjasama Lintas Pihak

Suku Anak Dalam merupakan WNI yang memiliki hak yang sama terhadap pendidikan

Keluarga Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba duduk di dalam tenda seadanya yang menjadi tempat tinggal sementaranya di ladang perkebunan miliknya di Pelepat, Bungo, Jambi, Jumat (2/10/2020). Puluhan Orang Rimba dari 118 jiwa yang biasa menetap di perumahan SAD dampingan SSS Pundi Sumatera di daerah itu memilih tinggal sementara di ladang perkebunan miliknya karena khawatir terhadap pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/wsj.
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Keluarga Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba duduk di dalam tenda seadanya yang menjadi tempat tinggal sementaranya di ladang perkebunan miliknya di Pelepat, Bungo, Jambi, Jumat (2/10/2020). Puluhan Orang Rimba dari 118 jiwa yang biasa menetap di perumahan SAD dampingan SSS Pundi Sumatera di daerah itu memilih tinggal sementara di ladang perkebunan miliknya karena khawatir terhadap pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/wsj.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komitmen berbagai pihak diperlukan dalam memberdayakan Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi. Sinergi lintas para pihak (multistakeholders) harus terus didorong dan dirancang agar kemandirian komunitas yang sering disebut dengan Orang Rimba ini dapat terwujud.

Diskusi bertajuk “Kolaborasi Multistakeholders dalam Pemberdayaan Suku Anak Dalam (SAD) di Sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi” ini menghadirkan pihak pemerintah pusat, pemerintah Kabupaten Sarolangun, akademisi serta Yayasan Prakarsa Madani. Diskusi ini digelar oleh Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jambi.

“Kami menyambut gagasan ini,” kata Rektor Universitas Jambi, Prof. Sutrisno, M.Sc, Ph.D saat memberikan sambutan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta.

Menurut Sutrisno, komitmen dan dukungan untuk kemandirian SAD harus terus didorong. “Bagaimanapun Suku Anak Dalam ini merupakan WNI yang memiliki hak yang sama terhadap pendidikan,” ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, tidak hanya dibahas problem pendidikan SAD saja. Diskusi yang melibatkan beragam instansi ini membedah juga praktik-praktik pemberdayaan yang selama ini telah dilakukan, baik dari pemerintah pusat, kabupaten, dan LSM.

Budi Setiawan perwakilan dari Yayasan Prakarsa Madani, menilai meski telah banyak program yang dilakukan oleh sejumlah lembaga, namun potret SAD masih terkesan sebagai masyarakat marginal.

Ia menilai upaya membangun kemandirian SAD masih belum optimal. Ini terjadi, kata Budi, karena belum adanya koordinasi, sinkronisasi dan integrasi para pemangku kepentingan dalam melaksanakan intervensi program dan kegiatan terhadap SAD.

 

“Mudah-mudah forum ke ini merupakan satu solusi strategis menuju kemandirian SAD dan kesejahteraan SAD,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement