Selasa 01 Dec 2020 20:09 WIB

Turki Tahan 82 Personel Militer Pendukung Fethullah Gulen

Sebagian besar dari yang ditangkap Turki masih aktif di militer

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Bendera Turki
Bendera Turki

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki telah memerintahkan penahanan terhadap 82 personel militer yang diduga merupakan simpatisan Fethullah Gulen. Sebagian besar dari mereka masih berdinas aktif.

Menurut laporan Anadolu Agency, perintah penahanan itu datang dari kepala jaksa penuntut di provinsi pesisir barat Izmir. Operasi penangkapan berlangsung di 39 provinsi dan sebanyak 63 orang telah ditangkap. Dari 82 orang yang menjadi target, 70 orang di antaranya sedang bertugas aktif.

Baca Juga

Selain memerintahkan penahanan, jaksa penuntut di Izmir juga telah mengambil langkah-langkah untuk memecat 848 personel militer, termasuk perwira tinggi. Pekan lalu, pengadilan Turki telah menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada para pemimpin percobaan kudeta tahun 2016. Ratusan perwira militer dan warga sipil turut dihukum.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memang meyakini percobaan kudeta empat tahun lalu itu didalangi Fethullah Gulen. Erdogan telah cukup lama menuduh pendukung Gulen mendirikan "negara paralel". Mereka memiliki agenda tersendiri dan menyusup ke polisi, pengadilan, militer serta lembaga negara lainnya.

Sejak upaya kudeta, puluhan ribu orang telah ditangkap sambil menunggu persidangan. Sementara itu, ribuan pegawai negeri, personel militer dan lainnya telah dipecat atau diskors. Turki telah dikecam oleh sekutu Barat dan kelompok hak asasi manusia atas tindakan keras, pembersihan, dan erosi kemerdekaan peradilan pasca-upaya kudeta.

Para kritikus menuduh pemerintahan Erdogan menggunakan insiden itu sebagai dalih untuk membungkam oposisi di negara tersebut. Namun, pemerintahan Erdogan mengklaim pembersihan dan penangkapan tersebut sejalan dengan aturan hukum. Langkah itu bertujuan menyingkirkan pendukung Gulen dari lembaga negara serta bagian masyarakat lainnya.

Gulen telah menyangkal keterlibatannya dalam upaya kudeta 2016. Sejak 1999, dia tinggal di pengasingan di Pennsylvania, Amerika Serikat (AS). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement