Senin 30 Nov 2020 16:38 WIB

India Alami Resesi

Ekonomi India terpukul akibat pembatasan yang diberlakukan untuk atasi Covid-19.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
 Seorang petugas kesehatan mengambil sampel usap dari seseorang untuk tes COVID-19 di halte bus kota di Bangalore, India, 20 November 2020. India saat ini memiliki total kasus COVID-19 tertinggi kedua yang dikonfirmasi di dunia.
Foto: EPA-EFE/JAGADEESH NV
Seorang petugas kesehatan mengambil sampel usap dari seseorang untuk tes COVID-19 di halte bus kota di Bangalore, India, 20 November 2020. India saat ini memiliki total kasus COVID-19 tertinggi kedua yang dikonfirmasi di dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Kementerian Statistik Nasional India mengonfirmasi bahwa ekonomi India telah memasuki resesi periode Juli-September. Ini adalah resesi pertama kali yang dialami India dalam hampir seperempat abad karena pandemi Covid-19.

Data resmi yang diterbitkan pada Jumat lalu menunjukkan produk domestik bruto (PDB) untuk kuartal Juli-September turun 7,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu saat ekonomi tumbuh lebih dari 4 persen.

Baca Juga

Angka itu mengikuti rekor penurunan hampir 24 persen dalam PDB pada periode April-Juni, kuartal pertama tahun fiskal India. "Dengan maksud untuk menahan penyebaran pandemi Covid-19, pembatasan diberlakukan pada kegiatan ekonomi yang dianggap tidak penting selama (kuartal pertama)," kata Kementerian Statistik India dalam sebuah pernyataan dikutip laman CNN.

"Meskipun pembatasan telah dicabut secara bertahap, namun berdampak pada kegiatan ekonomi," ujar kementerian menambahkan.

Sementara manufaktur kembali tumbuh, dan sektor jasa mengalami penurunan dua digit berturut-turut. Ekonom senior India di Capital Economics, Shilan Shah mengatakan, konsumsi pemerintah juga turun tajam sebagian karena respons fiskal yang tidak memadai terhadap krisis.

Menurut Shah, hasil awal yang positif dari AstraZeneca terhadap kandidat vaksinnya adalah kabar baik bagi India. Hal ini mengingat karena negara itu memiliki salah satu pesanan terbesar di negara manapun dan vaksinnya akan diproduksi secara lokal.

"Vaksin tersebut adalah tanda yang paling menggembirakan bahwa India memiliki jalan untuk mengakhiri epidemi Covid-19 dan jarak sosial yang terus membebani perekonomian," katanya dalam sebuah catatan penelitian.

Namun demikian, Kepala Ekonomi India dan Asia Tenggara di Oxford Economics, Priyanka Kishore menilai tantangan distribusi bisa berarti vaksin tidak akan tersedia secara luas sampai kuartal kedua tahun depan. Ada juga beberapa kekhawatiran bahwa kurangnya kejelasan mengenai data dari uji coba vaksin dapat menunda persetujuan peraturan.

Kedua ekonom tersebut mengatakan bahwa ekonomi India memiliki jalan yang sulit ke depan. "Tidak adanya respons fiskal yang komprehensif akan menghambat pertumbuhan ke depan," kata Kishore. Investor akan memperhatikan dengan cermat ketika bank sentral India bertemu pada pekan ini.

Data PDB menyoroti hal yang kontras antara India dan China setelah pandemi. Sebagian besar dunia terus bergumul dengan virus tersebut, sementara China mulai memulihkan ekonomi yang dipercepat pada kuartal terakhir.

China memberlakukan kebijakan lockdown yang ketat dan pelacakan populasi yang dimaksudkan untuk menahan virus. Pihaknya menyisihkan ratusan miliar dolar untuk proyek infrastruktur besar guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement