Senin 30 Nov 2020 16:02 WIB

Ekspor Benih Lobster yang Bermasalah dari Hulu ke Hilir

Kebijakan menyetop ekspor benih lobster dinilai tepat oleh banyak pakar.

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kedua kiri) ditunjukkan saat konferensi pers penetapan tersangka kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/11/2020) dini hari. KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi tersebut, salah satunya yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kedua kiri) ditunjukkan saat konferensi pers penetapan tersangka kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (26/11/2020) dini hari. KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kasus korupsi tersebut, salah satunya yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah, Antara

Kebijakan membuka keran ekspor bagi benih lobster atau benur telah membawa Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka. Penetapan tersangka Edhy dilakukan setelah KPK menemukan indikasi tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait pemberian izin ekspor benur.

Baca Juga

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menilai ekspor benih lobster memiliki permasalahan dari hulu hingga hilir. "Konteks ekspor benih lobster, permasalahannya dari hulu hingga hilir," katanya dalam diskusi daring tentang Tata Ulang Ekspor Bibit Lobster, Senin (30/11).

Menurut dia, sejumlah permasalahan hulu seperti dalam perizinan antara lain terkait kuota dan berdasarkan informasi dari pelaku usaha yang datang ke ICW, ada perusahaan yang memenuhi persyaratan, tetapi tidak mendapatkan izin ekspor. Ia berpendapat perizinan bila diberikan maka seharusnya diberikan dengan cara yang patut, penuh pengawasan, serta menjunjung tinggi objektivitas.

Sedangkan dari segi hilir, lanjutnya, terkait dengan adanya penentuan satu perusahaan kargo saja yang memonopoli ekspor benih lobster. "Problem-problem ini menjadi catatan bagi kita untuk bisa terlibat dalam fungsi-fungsi pengawasan dan mengawal proses-proses yang sekarang terjadi," kata Tama.

Ia juga menyoroti adanya staf khusus menteri yang ternyata bisa menjadi penentu perusahaan mana yang bisa melakukan ekspor, setelah berkoordinasi dengan asosiasi terkait. Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya ada perbaikan di internal KKP, terlebih sudah sejak lama ada catatan dari Ombudsman yang mempermasalahkan terkait ekspor benih lobster ini.

Ia berharap Presiden Joko Widodo mengganti Menteri Kelautan dan Perikanan dengan sosok yang terseleksi. Sosok pengganti Edhy harus dipilih berdasarkan rekam jejak yang baik, memiliki integritas, serta independen.

Kebijakan ekspor benih lobster dinilai lebih baik diarahkan untuk kepentingan domestik. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, menyatakan ekspor benih lobster seharusnya dihentikan total dan semua benih lobster yang ada dioptimalkan untuk budidaya di dalam negeri.

"Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan sejak awal menghendaki KKP memprioritaskan pemanfaatan benur lobster untuk usaha pembesaran di dalam negeri, bukan diekspor," kata Abdul Halim.

Menurut dia, dengan mengutamakan benih lobster untuk kepentingan dalam negeri, maka ke depannya mampu memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dalam jangka panjang. Selain itu, ia menyebutkan  memprioritaskan benih lobster untuk kepentingan domestik bernilai strategis bagi ekonomi bangsa dalam jangka waktu lima tahun ke depan.

Abdul Halim berpendapat, tertangkapnya Edhy Prabowo sebaiknya menjadi momentum guna melakukan koreksi total KKP dalam penerbitan kebijakan agar ke depannya tidak mengabaikan peringatan seperti hasil kajian Komnas Pengkajian Sumber Daya Ikan pada 2017 yang menyebutkan stok lobster berada di zona kuning dan merah. Ia memaparkan, sejumlah langkah yang harus dilakukan KKP adalah merevisi regulasi terkait syarat kejanggalan dari hulu ke hilir terkait dengan pengaturan pemanfaatan lobster, serta menyinergikan program dan kegiatan antara Ditjen Perikanan Tangkap dan Ditjen Perikanan Budidaya untuk memperkuat usaha pembesaran lobster dalam negeri.

Hal yang tidak kalah penting, lanjutnya, adalah agar KKP lebih besar lagi bersinergi dengan nelayan dan pembudidaya lobster di berbagai daerah.

Senada, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan menyatakan agar ekspor benih lobster sebaiknya dihentikan. "Sebaiknya (ekspor benih lobster) disetop sebab tidak memberi manfaat signifikan aturan pendukungnya seperti PNBP belum dikeluarkan pemerintah juga," katanya. Moh Abdi Suhufan juga menyarankan agar pemerintah fokus kepada kebijakan budidaya lobster dalam negeri daripada melakukan ekspor benih.

Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rianta Pratiwi mengatakan pengambilan lobster tidak ramah lingkungan dapat merusak terumbu karang. "Pengambilan lobster dengan tidak ramah lingkungan akan merusak terumbu karang sebagai habitat lobster," kata Rianta.

Rianta menuturkan Indonesia sebagai salah satu pengekspor lobster terbesar. Sebab wilayah perairannya didominasi oleh terumbu karang yang merupakan habitat terbaik bagi berbagai jenis lobster.

Alat tangkap yang menyebabkan kerusakan pada terumbu karang. Jika terumbu karang rusak, maka akan berdampak pada keberlanjutan kehidupan biota laut lain yang juga menjadi sumber pakan bagi lobster. Lobster memakan antara lain moluska, ikan dan krustasea.

Untuk menjaga keberlanjutan lobster di laut Indonesia, maka dia mengatakan untuk tidak menangkap lobster berukuran kecil atau sedang bertelur. Menurut dia, jika menemukan lobster yang berukuran kecil atau sedang bertelur maka wajib melepaskan kembali ke perairan bila ada yang tertangkap.

Melepaskan secara hati-hati lobster yang tertangkap agar tidak menyebabkan cacat pada lobster karena akan menyebabkan penurunan harga. Rianta menuturkan metode tangkap yang disarankan adalah yang tidak merusak habitat atau ekosistem serta menjaga kelestarian sumber daya lobster.

Metode tangkap ada dua yakni yang aktif dengan jerat yang dioperasikan dengan menyelam dengan kompresor, dan pasif dengan krendet, bubu dan tramel net (jaring tiga lapis) atau menyelam dan ditangkap dengan hand net.

Pascapenetapan tersangka Edhy, kebijakan ekspor benih lobster dihentikan sementara. Menteri Kelautan dan Perikanan ad interim Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan tidak ada yang salah terkait regulasi mengenai benih lobster seperti tertuang dalam Peraturan Menteri KP Nomor 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan.

"Jadi, kalau dari permen (peraturan menteri) yang dibuat tidak ada yang salah. Sudah kita cek tadi. Semua itu dinikmati (hasilnya) oleh rakyat mengenai program ini. Tidak ada yang salah," kata Luhut dalam siaran pers, Sabtu (28/11).

Luhut menyebut memang ada mekanisme ekspor yang dinilai keliru, yakni dalam hal pengangkutan benih bening lobster dari Indonesia ke negara tujuan ekspor. Untuk itu, lanjutnya, tim KKP juga sedang melakukan evaluasi sembari menghentikan sementara ekspor benih lobster.

"Pak Sekjen dan tim sedang mengevaluasi, nanti minggu depan dilaporkan ke saya. Kalau memang kita lihat bagus kita teruskan, karena sekali lagi tadi Pak Sekjen menyampaikan ke saya, itu memberikan manfaat ke nelayan di pesisir selatan," papar Luhut.

KPK telah menetapkan Edhy dan enam tersangka lainnya setelah melakukan operasi tangkap tangan pada Rabu (25/11) dini hari. Setelah melakukan gelar perkara, KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.

Keenam tersangka penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Sedangkan tersangka pemberi yakni Suharjito disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK terus mengejar eksportir lain yang diduga turut menyuap Edhy. KPK menduga Chairman PT Dua Putra Perkasa, Suharjito, bukanlah satu-satunya eksportir benur atau benih lobster yang memberikan suap.

Deputi Bidang Penindakan KPK, Karyoto, tak membantah bila ada dugaan pemberi suap lainnya. "Karena satu pemberi saja (Suharjito) polanya seperti ini dan dari rekening yang ada saja kan jumlahnya melebihi 1,5 (Rp 1,5 miliar) tentunya akan ada pemberi-pemberi yang lain," kata Karyoto .

Penyuap dalam perkara ini, Suharjito, yang disebut calon besan Ketua MPR Bambang Soesatyo baru memberikan suap Rp 2 miliar, yakni sebesar Rp 731 juta. Uang tersebut ditransfer ke rekening PT Aero Citra Kargo atas kegiatan ekspor benih lobster serta sebesar 100 ribu  dolar AS yang diduga diberikan Suharjito kepada Edhy Prabowo melalui stafsusnya Safri dan seorang swasta Amirul Mukminin.

KPK pun menduga di rekening PT ACK telah terkumpul setoran dari sejumlah perusahaan ekspor benur sebesar Rp 9,8 miliar. Uang itu kemudian ditarik dan dimasukkan ke rekening Amiril Mukminin dan Ahmad Bahtiar yang menjadi nominee atau dipinjam namanya oleh Edhy Prabowo dalam kepengurusan PT Aero Citra Kargo.

Untuk itu, Karyoto memastikan pihaknya akan terus mengusut dan mengembangkan kasus ini. Selain memeriksa para saksi, termasuk dari unsur eksportir, tim penyidik juga bakal menggali dokumen dan data serta transaksi elektronik yang berkaitan dengan sengkarut izin ekspor benur.

"Prinsipnya begini, nanti pada saat pengembangan penyidikan tentunya kami akan menggali informasi berupa dokumen dan data baik dari beberapa transaksi elektronik yang kita kembangkan," katanya.

Karyoto menekankan, proses ekspor benur tak hanya melibatkan Edhy Prabowo, Suharjito dan pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, sengkarut kasus ini juga melibatkan berbagai pihak, termasuk pada eksportir.

"Akan kami informasikan pada hasil penyidikan berikutnya apakah ada tersangka baru atau tidak karena dari proses bukan hanya orang-orang ini (tersangka) saja yang terlibat, tetapi orang-orang ini yang dominan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan proses perizinan maupun pengumpulan uang. Yang jelas kita akan ambil keterangan saksi di awal untuk tersangka masing-masing," jelas Karyoto.

photo
Ilustrasi ekspor benih lobster - (Tim infografis Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement