Jumat 27 Nov 2020 16:53 WIB

Ini Jenis Masker Terbaik dan Terburuk Menurut Penelitian

Dengan pemakaian yang benar, masker bahan tertentu bisa berfungsi dengan baik.

Rep: Puti Almas/ Red: Nora Azizah
Dengan pemakaian yang benar, masker bahan tertentu bisa berfungsi dengan baik (Foto: ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Dengan pemakaian yang benar, masker bahan tertentu bisa berfungsi dengan baik (Foto: ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan asumsi masker digunakan dengan benar, bahan tertentu secara konsisten diyakini memiliki kinerja lebih baik. Masker hibrida menjadi salah satu opsi yang paling aman, tapi dengan aturan bahwa kain yang digunakan harus ditenun sekencang mungkin. 

Melansir laman business insider, Jumat (27/11), kain dengan jumlah benang lebih tinggi lebih baik dalam menyaring partikel. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan masker kain memiliki tiga lapisan; lapisan dalam yang menyerap, lapisan tengah yang menyaring, dan lapisan luar yang terbuat dari bahan nonpenyerap seperti poliester.

Baca Juga

Kemudian, ada masker N95 yang dinilai memberi perlindungan paling tinggi. Masker ini menutup rapat area hidung dan mulut, sehingga hanya sedikit partikel virus yang masuk atau keluar. Ini juga mengandung serat kusut untuk menyaring patogen di udara.

Masker bedah sekali pakai juga dinilai tiga kali lebih efektif dalam memblokir aerosol, seperti influenza berdasarkan sebuah studi pada 2013. Lalu, ada masker yang terbuat dari kantong penyedot debu yang dapat menjadi alternatif paling efektif pengganti masker bedah, diikuti dengan masker yang terbuat dari sarung bantal, sutra, handuk, dan kaus katun. 

Sementara itu, penelitian dari University of Illinois menemukan bahwa masker dari bahan serbet sedikit lebih efektif daripada kaus katun bekas dalam menyaring tetesan ketika seseorang batuk, bersin, atau berbicara. Studi tersebut juga menemukan bahwa kemeja bekas yang terbuat dari sutra lebih efektif dalam menyaring tetesan momentum tinggi, kemungkinan besar karena sutra memiliki sifat elektrostatis yang dapat membantu menjebak partikel virus yang lebih kecil.

Namun, studi Universitas Chicago memiliki kesimpulan yang berbeda. Para peneliti menemukan bahwa satu lapisan sutra alami hanya menyaring 54 persen partikel kecil dan 56 persen partikel yang lebih besar. Sebaliknya, empat lapisan sutra alam menyaring 86 persen partikel kecil dan 88 persen partikel besar dengan laju aliran udara rendah.

Masker dari bahan bandana dan syal berdasarkan penelitian diketahui tidak memberi perlindungan yang baik. Berdasarkan studi yang dirilis di Journal of Hospital Infection, diketahui bahwa syal mengurangi risiko infeksi seseorang sebesar 44 persen setelah mereka berbagi kamar dengan orang yang terinfeksi virus corona jenis baru selama 30 detik. Setelah 20 menit terpapar, masker dari bahan syal hanya mengurangi risiko infeksi sebanyak 24 persen.

Sementara, beberapa tes meniru ukuran partikel virus corona jenis baru, tes lain mengevaluasi kinerja berdasarkan virus seperti influenza. Para peneliti juga masih belum yakin tentang sejauh mana virus ditularkan melalui aerosol karena partikel ini sulit untuk ditangkap dan dipelajari tanpa membunuh virus. 

Garis pemisah yang diterima secara umum antara tetesan dan aerosol adalah dengan lebar lima mikron atau kira-kira seukuran partikel debu. Tetapi, banyak ahli yang menganggap penggambaran itu kurang tepat. 

Berbagai penelitian juga menguji masker dalam keadaan berbeda. Beberapa meniru aliran udara deras yang dihasilkan saat seseorang batuk, sementara yang lain meniru aliran udara saat seseorang berbicara atau bernapas dengan normal.

Kemudian, tentu saja, masker akan menunjukkan hasil tergantung bagaimana mereka dikenakan. Itulah mengapa lebih baik orang-orang untuk tetap menggunakan lebih banyak perlindungan daripada tidak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement