Sabtu 28 Nov 2020 15:36 WIB

Media Australia Ulas Kiprah Habib Rizieq dari Dua Sisi

Saat Media Australia Soroti Kiprah Habib Rizieq

Red:

Kepulangan Muhammad Rizieq Shihab, pemimpin Front Pembela Islam (FPI) ke Indonesia telah mendapat sorotan, termasuk dari media di luar negeri.

Kontroversinya mulai dari pelanggaran protokol kesehatan saat disambut ribuan orang di bandara dan kegiatan lainnya, hingga isi ceramahnya saat peringatan Mauild Nabi di Petamburan.

Di sebuah video yang beredar di jejaring sosial, terdengar ia berkali-kali menggunakan kata "lonte" saat membicarakan seorang perempuan yang diduga adalah artis Nikita Mirzani.

"Ada lonte hina habib? Pusing pusing! Ampe lonte ikut-ikutan ngomong iyee.." kata Rizieq seperti yang dilansir dari tayangan YouTube Front TV.

Menteri Agama Fachrul Razi menyayangkan ceramah Rizieq, karena menurutnya kata-kata kotor tidak keluar dalam acara keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi

Banyak yang memaki, tapi tak sedikit yang simpati dengan sosoknya.

Penjelasannya mungkin bisa ditemukan dalam penelitian berjudul "In search of hegemony: Islamism and the state in Indonesia" disertasi yang ditulis Dr Luqman Nul Hakim, akademisi dari departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP).

 

'Makin religius' dan 'krisis otoritas' dalam Islam

Dr Luqman menilai ada setidaknya dua faktor yang bisa dipakai untuk menjelaskan berkembangnya model dakwah yang cenderung "atraktif" untuk massa.

Yang pertama, faktor perubahan sosial di kalangan masyarakat secara umum, yang semakin religius.

"Tapi religius dalam konteks efek dari ketidakjelasan ekonomi atau ketidakjelasan yang lain, sehingga orang cenderung lebih mudah untuk masuk ke dalam model jamaah semacam itu. "

"Ada model hijrah, ada model yang lain-lain, yang di bawahnya sebenarnya adalah cerita tentang kelas menengah yang uncertain [tidak pasti], soal urban poor [warga miskin kota] yang enggak ada jaminan sosial dan kemudian mudah masuk ke kelompok-kelompok semacam ini."

Faktor yang kedua adalah krisis di kalangan Islam itu sendiri dalam hal otoritas.

"Dalam hal otoritas di Islam, ruang-ruang otoritatif untuk bicara agama lebih banyak difasilitasi oleh media dan kemudian diisi oleh orang-orang yang secara umum less religiously educated [kurang teredukasi secara religi]," tambah Dr Luqman.

Akademisi lulusan University of Melbourne ini menjelaskan kondisi ini merupakan tantangan bagi otoritas keagamaan Islam, karena berbeda dengan tradisi di Kristen atau Katolik yang harus memenuhi kualifkasi tertentu sebagai pendakwah, namun tidak demikian dengan Islam.

"Dalam konteks Islam, coba aja lihat di televisi. Konten dari model ngobatin santet sampai motivasi semuanya mengklaim sebagai dakwah Islam."

"Artinya menunjukkan betapa gelombang Islamisasi ini tidak berbanding lurus dengan krisis di level otoritas sehingga gap [celah kosong] ini kemudian diisi oleh banyak hal, termasuk juga salah satunya adalah Habib Rizieq."

 

Ketidakpuasan dan rasa tidak percaya yang tidak tersalurkan

Sementara itu, kepulangannya yang disambut oleh ribuan orang dinilai Dr Luqman sebagai bukti jika manuver dan pengaruh Rizieq semakin besar.

Menurutnya ada ketidakpuasan secara umum, terutama di kalangan warga yang rata-rata kelas ekonomi bawah terhadap kebijakan pemerintahan yang ada.

"Mereka punya distrust [tidak percaya] terhadap rezim dan kebijakan-kebijakan yang ada, sementara pada saat yang sama, tidak ada jalan lain yang siap untuk menyalurkan suara-suara ini, terutama lewat partai politik."

Dalam konteks demokrasi sebenarnya ketidakpuasan bisa disampaikan melalui partai politik, tapi saat ini Dr Luqman menilai tidak ada partai politik yang bisa mewakili kegelisahan kelompok-kelompok ini.

"Mereka menganggap bahwa Rizieq bukan hanya soal imam besar Islam," jelasnya.

"Kenapa massanya cukup besar, menurut saya ini kombinasi dari basis tradisional FPI ditambah dengan limpahan yang besar dari kelompok-kelompok yang tak puas dengan kondisi saat ini, tapi tidak punya cara lain untuk mengartikulasikan lewat partai atau politisi, kecuali lewat Rizieq dan FPI."

"Dalam konteks Jakarta, kajian-kajian yang dilakukan oleh Ian Wilson dari Murdoch University menjelaskan bahwa melalui FPI orang bukan kemudian sekedar hanya beragama dan beribadah ... tapi juga punya akses-akses kegiatan ekonomi sehari-hari ..., misalnya soal lapangan kerja di lahan parkir."

 

FPI adalah aset politik yang membuat sikap pemerintah 'mendua'

Dr Luqman juga melihat kegamangan pemerintah dalam menghadapi Rizieq, bukan hanya soal kepulangan, tapi bahkan sebelum ia pergi ke Saudi.

"Misalnya kita lihat beberapa pemberitaan bahwa orang-orang pemerintah juga datang menemui Rizieq."

"Artinya ada sikap mendua juga di sana, ada sikap hitung-hitungan, kalkulasi politik bahwa orang seperti Rizieq dan FPI meskipun di satu titik tertentu kontraproduktif untuk proyek politik tertentu, tapi dalam kesempatan lain masih berhitung bahwa Rizieq dan FPI masih bisa digunakan untuk proyek politik yang lain."

Sikap mendua ini juga terlihat pekan lalu ketika Kodam Jaya mengerahkan pasukan tempur untuk menurunkan spanduk Rizieq dan saat itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman juga mengancam pembubaran FPI.

"Kalau perlu, FPI bubarkan saja! Kok mereka yang atur. Suka atur-atur sendiri," ungkap Dudung pada Jumat (20/11).

Tetapi lima hari berselang, Dudung menyebut Rizieq sebagai "orang yang berilmu".

"Habib Rizieq orang berilmu dan sebagainya, luar biasa, tidak kemudian kita bermusuhan dengan dia, tidak," ucap Dudung, Rabu (25/11).

Mayjen Dudung juga mengatakan jika ia tidak pernah mengajak orang lain untuk menganggap FPI sebagai "musuh", namun sebagai "saudara" yang harus dirangkul lewat dialog.

 

Jangan dilihat sebagai ancaman bagi demokrasi

Dr Luqman mengingatkan, pengerahan massa yang berbasis identityas dalam sebuah demokrasi tidak bisa dilihat sebagai anti-demokrasi.

"Dalam konteks Indonesia, saya kira argumennya adalah bahwa mobilisasi identitas itu tumbuh dari praktik demokrasi di Indonesia ketika partai politik tidak berperan."

Menurutnya, organisasi keagamaan, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, harus memikirkan bagaimana mengisi kekosongan dan menghadapi perubahan sosial di tengah masyarakat.

"Kalau tidak, ini akan diisi oleh kelompok-kelompok yang lain yang secara otoritas keagamaan mungkin bisa dipertanyakan, bahkan bisa saja dieksploitasi oleh ideologi-ideologi yang mengajarkan kekerasan."

Partai politik juga harus berkaca, Dr Luqman mengatakan, selama partai politik di Indonesia hanya bersifat elitis, termasuk hanya mencari pemilih lima tahunan dalam konteks pemilu, maka konstituen politik yang ada akan lebih cenderung mengalihkan penyaluran aspirasinya lewat jalur-jalur informal yang ada.

"Bisa melalui organisasi seperti FPI, Pemuda Pancasila, atau organisasi apapun yang mereka rasa jauh lebih memberikan dampak keuntungan secara langsung terhadap kepentingan sehari-hari mereka."

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement