Kamis 26 Nov 2020 16:02 WIB

Menag: Penguatan Moderasi Beragama Mendesak

Moderasi beragama menurut Menag mendesak dilakukan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Menag: Penguatan Moderasi Beragama Mendesak. Foto: Menag Fachrul Razi
Foto: Dok Kemenag
Menag: Penguatan Moderasi Beragama Mendesak. Foto: Menag Fachrul Razi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi menyampaikan, sejumlah kekerasan yang mengatasnamakan agama masih terjadi di berbagai negara. Kekerasan telah mengusik rasionalitas dan nurani masyarakat dunia, maka penguatan moderasi beragama mendesak dilakukan.

"Provokasi, ujaran kebencian dan hasutan untuk melakukan kekerasan yang dibungkus berbagai hegemoni dan identitas, baik agama, budaya, kelompok dan suku ini telah mengikis dan mengaburkan rasa saling menghormati, kasih sayang, perdamaian dan persatuan," kata Menag saat memberikan sambutan dan membuka acara Colloquium Tokoh Agama: Kerukunan dan Moderasi Beragama dalam Konteks Kemajemukan Indonesia di Kantor Kementerian Agama (Kemenag), Rabu (25/11).

Baca Juga

Menag mengatakan, peristiwa-peristiwa kekerasan sangat mengusik rasionalitas dan nurani masyarakat dunia termasuk masyarakat Indonesia. Seluruh umat beragama telah bersama-sama mengungkapkan keprihatinannya dan mengecam tindakan-tindakan kekerasan yang menjurus ke arah perpecahan. Kekerasan dan perpecahan itu hampir selalu dimulai dari sikap intoleransi.

Menurutnya, dari perspektif agama, kemajemukan adalah rahmat, kasih sayang dan kehendak Tuhan. Tuhan tidak menciptakan satu jenis pohon, satu jenis bunga, satu jenis spesies ikan, satu spesies rumput, batu, gunung, dan tidak menciptakan satu jenis sel molekul. Kemajemukan itulah yang membuat kehidupan menjadi lebih dinamis dan berwarna, saling menopang, saling mengenal, dan saling mengasihi dan menyayangi.

Menag mengatakan, ada banyak agama di Indonesia. Di masing-masing agama dan kepercayaan terdapat pandangan yang berbeda-beda. Pemeluk agama berhak berpandangan bahwa yang dianutnya adalah agama yang paling benar. Namun di sisi lain, pemeluk agama berbeda juga punya hak berpandangan hal yang sama bagi agama yang dianutnya.

"Untuk itulah pentingnya rasa saling menghargai dan menghormati antar pemeluk agama dan kepercayaan lainnya," ujarnya.

Menag menilai bahwa dialog kerukunan beragama saja saat ini tidak cukup memadai dalam merawat kemajemukan keindonesiaan. Lebih dari itu, penguatan dan pengarusutamaan moderasi beragama sangat mendesak dilakukan tokoh agama, seluruh komponen masyarakat, serta pemerintah sebagai justifikasi kehadiran negara.

"Penguatan moderasi beragama sangat mendesak dilakukan. Agama selalu lahir dalam misi mulianya, yaitu perdamaian dan keselamatan," jelas Menag.  

Kemenag terus berupaya melakukan penguatan dan pengarusutamaan moderasi beragama. Program tersebut bahkan sekarang menjadi program unggulan dan kebijakan Kemenag yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020.

"Kita turut dan terus berkontribusi konkret dalam pembinaan, pemeliharaan, dan penguatan moderasi beragama pada realitas pluralitas masyarakat Indonesia yang sangat multikultural yang nyaris tiada tandingannya di dunia," ujarnya.

Menag berharap agenda Colloquium ini menjadi salah satu upaya mewujudkan kerukunan dan moderasi beragama di Indonesia, yang selalu mengedepankan kasih sayang, toleransi, gotong-royong, adil, dan saling menghormati sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan ajaran mulia semua agama. Colloquium ini diharapkan menghasilkan rumusan artikulasi moderasi beragama yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap ketertiban dan perdamaian dunia untuk mewujudkan dunia yang lebih baik.

"Dengan moderasi beragama, umat rukun, Indonesia maju," tegas Menag.

Kegiatan Colloquium yang digelar secara tatap muka dan dalam jaringan ini diikuti tokoh lintas agama, pejabat Eselon I dan II, serta para Kepala Kanwil Kemenag seluruh Indonesia. Pidato utama Colloquium disampaikan Direktur Diplomasi Publik Yusron B Ambary.

Sejumlah tokoh menjadi narasumber di antaranya enam tokoh agama. Yaitu KH Nasarudin Umar, Romo Franz Magnis-Suseno, Pendeta Henriette Lebang, Aak Diatmika, Biku Bhante Tejavaro, dan Xs. Budi S. Tanuwibowo. Mereka mewakili agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement