Kamis 26 Nov 2020 11:35 WIB

Bolehkah Menceritakan Kisah Israiliyat?

Kisah Israiliyat sering digunakan untuk menjelaskan hal menyangkut sejarah.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Bolehkah Menceritakan Kisah Israiliyat?. Foto: Kitab (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Bolehkah Menceritakan Kisah Israiliyat?. Foto: Kitab (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah-kisah israiliyat seringkali digunakan untuk menjelaskan tentang suatu hal menyangkut sejarah masa lampau sebelum diutusnya Rasulullah. Banyak kitab-kitab turats yang juga menyelipkan kisah-kisah israiliyat dalam membahas suatu masalah tertentu. Seperti apa sebenarnya kisah israiliyat itu ? Apakah boleh seorang Muslim mempercayai dan menceritakan kisah-kisah israililyat kepada muslim lainnya?

Kisah-kisah israiliyat menyebar tidak lepas berawal dari keingintahuan bangsa Arab untuk menggali informasi terutama tentang kisah-kisah dalam Al Quran yang tidak merinci peristiwanya. Keingintahuan itu tersalurkan dengan menanyakan informasi yang dibutuhkan kepada ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani yang hidup di tengah-tengah bangsa Arab.

Baca Juga

Interaksi antara bangsa Arab dengan ahlul kitab terutama orang-orang Yahudi sudah lama terjalin sejak 70 Masehi setelah para ahlul kitab melarikan diri dari kejaran dan penyiksaan penguasa Romawi, Titus. Selain itu dalam perdagangan musim panas ke Syam dan musim dingin ke Yaman, bangsa Arab juga selalu berjumpa dan berkomunikasi dengan ahlul kitab yang tinggal di daerah tersebut. Dari situlah budaya dan pemikiran ahlul kitab diserap oleh bangsa Arab.

Sebagian dari ahlul kitab itu ada yang memeluk agama Islam misalnya saja seperti Abdullah bin Salam, Ka’b Al Ahbar dan lainnya yang mereka semua telah memiliki informasi-informasi  beragam berkaitan tentang kisah-kisah israiliyat. Informasi itu kemudian dengan mudah diterima bangsa Arab karena dianggap hanya sekedar cerita masa lalu dan tidak terkait dengan persoalan hukum yang harus diverifikasi lebih jauh kesahihannya. Mulanya hanya sekedar memenuhi rasa ingin tahu. Berdasarkan riwayat itulah cerita-cerita israiliyat berkembang dan masuk ke dalam buku-buku tafsir. Hampir kebanyakan buku-buku tafsir klasik memuat kisah-kisah yang dikenal dengan istilah israiliyat.

Istilah israiliyat meski dinisbatkan kepada Israil, julukan bagi nabi Yaqub dan merujuk kepada kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi, tetapi dalam perkembanganya israiliyat lebih populer dikenal untuk kisah atau dongeng masa lalu yang masuk ke dalam tafsir dan hadits. Baik yang bersumber dari orang-orang Yahudi-Nasrani maupun lainnya. Cerita-cerita itu semakin berkembang dengan banyaknya orang yang berprofesi sebagai alqassasun (pandai cerita) yang selalu menonjolkan keanehan-keanehan dalam penyampaiannya agar menarik perhatian pendengar.

Memang tidak semua israiliyat itu lemah atau palsu riwayatnya. Ada di antaranya yang sahih, seperti penjelasan Abdullah bin Salam tentang sifat-sifat Rasulullah yang termaktub dalam Taurat, dan dikutip dalam kitab-kitab tafsir. Demikian pula, tidak semua kisah israiliyat itu bertentangan dengan syariat Islam. Ada yang sejalan dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan penolakan dan pembenarannya dalam ajaran Islam (al maskut anhu). Kisah-kisah tersebut ada yang terkait dengan akidah dan masalah hukum, ada pula yang tidak berhubungan sama sekali dengan keduanya, melainkan hanya berupa nasihat dan informasi peristiwa masa lalu.

Para ulama berbeda pandangan dalam menyikapi kisah-kisah israiliyat. Di dalam Al Quran sendiri ada ayat yang menjadi basis argumentasi bolehnya untuk menanyakan informasi terkait kitab suci kepada ahlul kitab.

فَإِن كُنتَ فِى شَكٍّ مِّمَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ فَسْـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقْرَءُونَ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِكَ ۚ لَقَدْ جَآءَكَ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلْمُمْتَرِينَ

Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu.(Al Quran surat Yunus ayat 94).

Ada juga hadits nabi

عن عبد الله بن عمرو بن العاص -رضي الله عنهما-: أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «بلغوا عني ولو آية، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فَلْيَتَبَوَّأْ مقعده من النار».  

[صحيح.] - [رواه البخاري

Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakan (apa yang kalian peroleh) dari Bani Israil, tidak ada dosa. Barang siapa sengaja berdusta mengatasnamakanku maka bersiaplah untuk masuk ke neraka (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).

Ayat dan hadits itu dipahami para ulama sebagai dasar membolehkan mengutip riwayat israiliyat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab yang diperintahkan oleh Al Quran dan hadits tersebut tentu yang tidak mengandung kebohongan. Yang bertentangan dengan ajaran agama dan juga akal sehat sudah pasti ditolak.

Sementara itu yang tidak ditemukan pembenaran dan penolakannya para ulama memilih sikap tawaqquf, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan. Ini sejalan dengan bunyi hadits nabi :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: لَا تُصِدِّقُوا أَهْلَ  الْكِتَابَ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ الْآيَةُ

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhuma beliau berkata, “Dahulu Ahlul kitab membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dengan bahasa Arab kepada ahlul Islam (muslimin).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian percayai mereka jangan pula kalian dustakan namun katakanlah (seperti dalam ayat): (HR Bukhari dari Abu Hurairah).  Ayat yang dimaksud yaitu surat Al Baqarah 136.

Meski tawaqquf dan tidak membenarkan dan tidak menolaknya, para ulama membolehkan untuk meriwayatkan sekedar sebagai bentuk pemaparan atas kisah yang ada dikalangan mereka, dan itu termasuk dalam kebolehan yang dibenarkan oleh ayat dan hadits tersebut. Kebolehan itu tentu dalam batas-batas tertentu, yaitu tidak terkait dengan masalah akidah dan hukum, serta tidak ditemukan pembenaran dan penolakannnya dalam ajaran Islam.

 

Sumber: Kisah Para Nabi pra-Ibrahim dalam perspektif Al Quran dan Sains / Lajnah Pentashihan Mushaf Al Quran Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement