Rabu 25 Nov 2020 17:57 WIB

Pemerintah Ingin Swasembada Gula, Ini Kata Petani

Bongkar dan rawat ratoon akan sangat bermanfaat jika memang ditujukan bagi petani.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Petani memanen tebu untuk diolah menjadi gula di kebunnya, di Nagari Lawang, Kab. Agam, Sumatera Barat, Sabtu (18/7). Pemerintah menargetkan swasembada gula pada tahun 2023 mendatang. Swasembada itu dikejar dengan upaya intensifikasi serta ekstensifikasi lahan untuk meningkatkan produksi tebu dalam tiga tahun ke depan.
Foto: Iggoy el Fitra/ANTARA FOTO
Petani memanen tebu untuk diolah menjadi gula di kebunnya, di Nagari Lawang, Kab. Agam, Sumatera Barat, Sabtu (18/7). Pemerintah menargetkan swasembada gula pada tahun 2023 mendatang. Swasembada itu dikejar dengan upaya intensifikasi serta ekstensifikasi lahan untuk meningkatkan produksi tebu dalam tiga tahun ke depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan swasembada gula pada tahun 2023 mendatang. Swasembada itu dikejar dengan upaya intensifikasi serta ekstensifikasi lahan untuk meningkatkan produksi tebu dalam tiga tahun ke depan.

Upaya intensifikasi dilakukan melalui bongkar ratoon atau peremajaan pada lahan seluas 75 ribu hektare. Produktivitas ditargetkan naik menjadi 15 ton per ha. Selain itu, juga dilakukan rawat ratoon atau perawatan di lahan seluas 125 ribu hektare dan ditargetkan produktivitas naik menjadi 13 ton per hektare. Intensifikasi lahan tersebut dilakukan di Pulau Jawa. Adapun untuk langkah ekstensifikasi dilakukan di luar Jawa dengan target perluasan lahan sebanyak 50 ribu hektare.

Baca Juga

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, Nur Khabsyin mengatakan, APTRI belum pernah diajak berkoordinasi mengenai target pemerintah untuk mencapai swasembada. Namun, ia menuturkan, langkah bongkar ratoon dan rawat ratoon akan sangat bermanfaat jika memang ditujukan bagi para petani.

"Yang penting itu tepat sasaran kepada petani, kalau tidak tepat sasaran, uang negara menguap begitu saja, pemerintah harus belajar dari pengalaman," kata Khabsyin.

Namun, kata Khabsyin, pihaknya meragukan swasembada akan tercapai. Pasalnya, keinginan swasembada sudah dicanangkan sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, target tidak pernah tercapai.

Menurutnya, salah satu sebab gagalnya upaya swasembada karena kebijakan pemerintah yang kontradiktif. Di satu sisi, ingin menggenjot produksi dalam negeri, namun di sisi lain terus menambah impor gula. Situasi itu membuat minat petani untuk menanam tebu menjadi berkurang.

Itu sebabnya, luasan lahan tebu dalam lima tahun terakhir juga terus menurun. Mengutip data Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan tebu pada 2015 mencapai 445,6 ribu hektare. Namun, terus mengalami penurunan hingga 2019 menjadi hanya 411,435 ribu hektare. Adapun pada tahun ini, mulai mengalami kenaikan tipis menjadi 416,9 ribu hektare.

"Petani ketika hasil produksinya menguntungkan, tanpa disuruh dia akan memperluas lahannya. Tapi ketiga harga jatuh, apalagi karena impor, dia akan mengganti tanamannya dengan komoditas lain, itu kenapa tiap tahun lahan susut. Saya tidak yakin 2023 kita swasembada," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin mengatakan, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan  yang tegas jika ingin mengurangi impr gula. Salah satunya yakni dengan komitmen perluasan wilayah penanaman tebu.

“Jika target swasembada ingin dicapai, perlu kebijakan yang tegas. Setidaknya kita memerlukan 400.000 bahkan sampai 700.000 hektare lahan untuk mencapai target," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement