Rabu 25 Nov 2020 08:32 WIB

Canda Pelecehan Terhadap Perempuan Jadi Candu Saat Pandemi

Banyak orang yang melakukan pelecahan, tetapi tidak merasa melakukannya.

Aksi menentang pelecehan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Reno Esnir
Aksi menentang pelecehan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zainur Mahsir Ramadhan

Sakdiyah Ma’ruf (38 tahun), terlihat lantang ketika ditanya mengenai bentuk pelecehan seksual yang dialaminya. Bukan tanpa sebab, hal itu memang kerap ia alami, bahkan, sejak duduk di bangku SMP.

Sakdiyah mengaku, pelecehan tersebut acap kali dimulai dari candaan. Sakdiyah mengingat kembali, saat mengenyam pendidikan SMP di masa Orde Baru, ia memang terpaksa melepas hijab dan mengenakan seragam pendek karena aturan yang berlaku di sekolah. Mengetahui lengan dan kaki Sakdiyah diselimuti bulu tipis, dirinya didekati teman lelaki. Tetapi, pendekatan tersebut malah menyinggung ke konotasi seksual.

"Dia bilang, Sakdiyah bulu kamu kan banyak, pasti nafsunya gede!" kenangnya dengan mata berkaca, dalam webinar Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual yang diadakan Herstory, Komnas Perempuan beberapa waktu lalu.

Sebagai keturunan Hadrami-Arab, faktor genetik itu memang lumrah dimilikinya, hal itu ia sebut juga diketahui temannya. Namun, candaan melecehkan untuk menonjolkan kesan superior sang pelontar, menurutnya, telah terpatri dari generasi ke generasi dan berakar kuat pada budaya patriarki.

"Dan kisah ini juga kerap saya bawakan di panggung (Stand Up Comedy)" ujar komika yang juga masuk dalam 100 perempuan berpengaruh di dunia tahun 2018 versi BBC, sebagai pelawak tunggal Muslim pertama dari Indonesia yang menggunakan komedi untuk melawan kekerasan terhadap perempuan.

photo
Ilustrasi Pelecehan Seksual. (Republika/Prayogi) - (Republika/Prayogi)

Memasuki dunia pelawak tunggal, ia mengaku awalnya adalah cara untuk berkesenian secara pribadi dan modal demi penelitian akademisnya. Hal itu, juga didorong oleh skripsinya yang membahas "Stand Up Comedy". Namun, seiring waktu, seni tersebut semakin membawanya untuk mengkampanyekan kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk ekstremisme Islam.

Dia menjelaskan, humor atau candaan selalu membutuhkan target. Ada dua targetnya, pertama, orang yang terlihat lemah sehingga menimbulkan kesan superior dari pelontar candaan. Kedua adalah orang yang dianggap berkuasa, sehingga candaan itu bisa berkonotasi perlawanan.

Menurutnya, hal itu membuktikan jika humor bisa dinilai sebagai pisau bermata dua, baik itu melawan kekuasaan atau melawan si lemah dan merendahkannya. “Dan humor yang bersifat seksual ini, adalah humor yang dikritisi di sepanjang sejarah kemanusiaan sebenarnya, yaitu, humor yang menimbulkan perasaan superior bagi pelontarnya. Intinya, humor itu handle with care deh,” ucap dia.

Tak hanya itu, pelecehan seksual lainnya juga ia klaim masih sering terjadi padanya. Di antaranya yang paling ringan, kata dia, adalah cat calling dan body shaming. Dia menambahkan, ucapan salam yang berkonotasi siulan dan merujuk pada tubuh wanita juga bisa disebut sebagai cat calling, dan bentuk nyata pelecehan.

"Saya juga sering bicara di panggung, dengan diawali 'Tahukah Anda? betapa menyakitkannya, assalamualaikum yang berkonotasi cat calling. Pertama melecehkan, lalu kedua, salam itu menurut pandangan agama saya harus dibalas'. Jadi intinya, tidak hanya melecehkan wanita, salam itu juga harus memberikan pertanggung jawaban di depan Allah SWT,’’ kata dia.

Sakdiyah masih merasa kecewa ketika banyak orang yang melakukan pelecahan, tetapi tidak merasa melakukannya. Hal itu semakin nyata, ketika ia langsung yang menjadi korban pelecehan tersebut.

Di tempat yang sama, Komisioner Komnas Perempuan, Prof Alimatul menyatakan, pelecehan dengan bentuk candaan memang kerap terjadi di manapun. Pelecehan, kata dia, biasanya terjadi karena ada relasi kuasa dan rasa kepemilikan otonomi untuk menekan dan melecehkan.

“Cara menanggapinya, adalah perlu dengan merespon dengan asertif. Sehingga, kita bisa menyampaikannya dengan ramah. Jadi bisa dengan mengalihkan perhatian. Tapi, kalau terjadi, kita bisa tegur juga,” ungkap dia.

Hal itu, menurutnya, merupakan respon untuk melawan tanpa merendahkan. Namun, terlepas dari candaan berkonotasi melecehkan itu, ada banyak bentuk respon, tergantung dari jenis kekerasan seksual lainnya.

Perkembangannya Saat Pandemi

Pelecehan seksual yang dialami Sakdiyah itu, hanya satu bentuk dari 15 kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan. Atau, satu dari 9 rumusan RUU PKS menurut Komnas Perempuan, yang telah dicabut dari program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020.

Menurut Psikolog Seksual Zoya Amirin, candaan berkonotasi melecehkan memang kerap terjadi. “Candaan berkonotasi pelecehan seksual tidak hanya dilakukan lelaki yang mengutamakan patriarki. Tetapi, juga perempuan yang toxic femininity,” kata dia Ketika dikonfirmasi.

Namun, di masa pandemi Covid-19, bentuk kekerasan seksual atau pelecehan itu dinilainya berkembang, mengingat adanya pembatasan sosial. Perkembangan kasus tersebut, bahkan ia sebut besar kemungkinannya melebar ke ranah keluarga dan orang terdekat.

Hal itu menurutnya semakin dipertegas, ketika jumlah kekerasan pada perempuan meningkat di masa pandemi ini. Ia menyebut, hal tersebut juga bisa menjurus pada terjadinya KDRT.

Perempuan yang melakukan banyak kegiatan di rumah sejak pembatasan, kata dia, lebih berpotensi mengalami pelecehan atau kekerasan dari pasangan yang juga selalu di rumah pada waktu yang sama.

“Karena jika sebelum pandemi salah satu pasangan pergi kerja atau keluar, dia masih bisa ada kesempatan untuk tidak terdampak kekerasan,’’ kata dia kepada Republika.co.id.

Menurut Zoya, kekerasan seksual yang terjadi pada keluarga sendiri atau orang lain dengan jenis Kekerasan Berbentuk Gender Online (KGBO), dikarenakan dampak pembatasan yang membuat stres dari pelaku. "Karena terbiasa melakukan pelecehan seksual di luar rumah, pelampiasan dalam bentuk kekerasan atau pelecehan bisa saja terjadi pada anggota keluarga terdekat, khususnya perempuan, mengingat selalu bertemu 24 jam sehari," katanya.

Kekerasan tersebut, lanjut Zoya, juga bisa terjadi pada siapa pun. Bahkan, pada keluarga yang awalnya jauh dari pelecehan dan kekerasan seksual. “Apalagi pada mereka yang basically sebelum pandemi pun sudah mengalami KDRT,” ucap Zoya.

Lonjakan Laporan

Menurut data dari LBH APIK Jakarta, aduan kekerasan seksual di masa pandemi melonjak. Bahkan, dalam kurun waktu 16 September hingga 8 Oktober, tercatat ada 582 pengaduan kekerasan.

Staf Divisi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta Dian Novita menegaskan, dari total itu, kasus tertinggi adalah KDRT dengan 192 kasus. Disusul Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) sekitar 176 kasus. "Ini pengaduan hanya ke LBH APIK Jakarta, dan laporannya hanya data dari Jabodetabek," ucapnya ketika dikonfirmasi.

Sementara itu, banyaknya kekerasan dan pelecehan secara khusus pada perempuan, juga dituangkan dalam data ‘Kajian Situasi Layanan Bagi Perempuan Korban Kekerasan di masa Pandemi Covid-19’ oleh Komnas Perempuan. Sepanjang Maret hingga Mei 2020, diketahui ada 1.299 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dari kajian itu, kekerasan terhadap perempuan di ranah privat (rumah tangga) ada di posisi tertinggi yaitu 784 kasus atau sekitar 66 persen. Sedangkan di ranah publik, ada 243 kasus atau 21 persennya. Kajian ini, juga menemukan kekerasan terhadap perempuan berbasis daring, yaitu, sebanyak 129 kasus atau 11 persen, yang didominasi pengancaman bernuansa kekerasan seksual.

Menanggapi hal itu, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mengatakan, pelecehan seksual memang masuk dalam kategori kekerasan seksual. Mengacu pada berbagai data yang dikeluarkan pihak terkait, angka selama pandemi ia sebut meningkat.

“Hanya untuk pelecehan seksual mungkin punya angka tertentu secara spesifik,” ucapnya.

Dia melanjutkan, yang membedakan situasi potensi ancaman kekerasan ini adalah, bagaimana akses layanan perlindungan korban yang mengalami kesulitan selama pandemi karena adanya pembatasan sosial.

“Penjangkauan layanan penanganan kekerasan sebelum pandemi saja sudah mengalami kesulitan, apalagi jika fokusnya sangat privat, yaitu di dalam rumah,” tuturnya.

Dia menegaskan, potensi kekerasan seksual atau pelecehan seksual menjadi meningkat apabila pelakunya justru ada di rumah. Sehingga, di masa pandemi ini, perempuan yang melakukan work from home (WFH), mengurus keluarga, mendampingi dan atau Belajar di Rumah, justru ia sebut malah mendekatkan korban dengan pelaku kekerasan.

“Untuk menangani ini, sebenarnya beberapa komunitas telah mengupayakan penanganan berbasis komunitas. Dengan melakukan penyebaran informasi melalui daring dan luring, tentang pencegahan kekerasan selama pandemi,” ungkap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement