Selasa 24 Nov 2020 21:22 WIB

Pekerja Kirim Barang Korsel Hadapi Overwork Hingga Kematian

Pekerja pengantar barang di Korsel tidak mendapat upah minimum dan tanpa asuransi

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Bendera Korea Selatan. Pekerja pengiriman barang di Korsel menghadapi tekanan pekerjaan selama pandemi Covid-19
Foto: EPA
Bendera Korea Selatan. Pekerja pengiriman barang di Korsel menghadapi tekanan pekerjaan selama pandemi Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Pekerja pengiriman barang Korea Selatan (Korsel) mengatakan mereka jatuh ke wilayah yang disebut 'titik buta hukum', wilayah mematikan karena pandemi virus corona memicu ledakan belanja daring yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Selama beberapa dekade terakhir hak-hak buruh di Korsel sudah semakin membaik. Tapi para pekerja pengantar barang di negara itu mengatakan mereka hanya melihat sedikit keuntungan.

Baca Juga

"Keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi? Itu dunia lain," kata seorang pekerja kontrak, Jeong Sang-ok, Selasa (24/11).

Laki-laki berusia 51 tahun itu mengantarkan parsel untuk Hanjin Transportation, salah satu dari dua perusahaan antarbarang terbesar di Korsel. Data pemerintah menunjukan tahun ini pengiriman parcel naik 12 persen dari tahun 2004 ketika belanja daring mulai tumbuh, lalu naik 23 persen dari bulan Februari ke bulan Oktober tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Perusahaan antarbarang besar mendapatkan untung besar. Profit CJ Logistics pada paruh pertama tahun ini naik 23 persen dan Hanjin Transportation naik 35 persen. Dua perusahaan itu menguasai 64 persen pasar antar barang di Korsel.

Sebagian besar dari 54 ribu pekerja antarbarang di Korsel adalah pekerja subkontrak, sehingga tidak mendapatkan jaminan dan manfaat lain yang biasanya didapatkan pekerja tetap. Pekerja dan serikat kerja mengatakan celah di undang-undang membuat para pekerja subkontrak itu terpapar tekanan dan jam kerja yang luar biasa panjang. Mereka mengatakan hal itu kerap mengakibatkan kematian.

Aktivis buruh mengatakan tahun ini mereka menerima laporan dari kerabat 14 orang yang meninggal dunia karena sistem tersebut membuat para pekerja bekerja luar biasa panjang hanya untuk memenuhi kebutuhan. Salah satunya Kim Won-jong.

Kim mengalami kesulitan bernapas saat bekerja, ayahnya mengatakan hal itu disebabkan tuntutan pekerjaan yang luar biasa banyak. "Ia lari-larian, berlari sekitar 14 jam tanpa punya waktu untuk makan," kata Kim Sam-young sambil memegang foto putranya dalam unjuk rasa pada bulan Oktober lalu.

Pengantar barang lainnya Seo Hyung-Wook mengalami sesak napas saat bekerja. Saudarinya mengatakan Seo meninggal dunia karena serangan jantung. Ia mengatakan kematian Seo karena tuntutan pekerjaan.

Serikat buruh mengatakan seorang pengantar barang bunuh diri. Ia meninggalkan catatnya berisi betapa sulitnya bekerja.

"Sudah 15 orang meninggal dunia, ini ironi, karena kami tidak bekerja untuk mati tapi untuk hidup," kata Jeong.

Selama beberapa dekade terakhir pekerja tetap di perekonomian terbesar keempat di Asia itu mengalami peningkatkan kesejahteraan. Jam kerja mereka setiap minggunya sudah ditetapkan, memiliki perwakilan yang kuat di serikat dan dapat mengambil hari libur.

Namun, pengantar barang dan para pekerja subkontrak lainnya dianggap wiraswasta. Mereka tidak mendapatkan upah minimum, lembur mereka tidak dibayar, dan tidak mendapatkan asuransi bila terluka saat bekerja.

Data pemerintah Korsel menunjukkan di Negeri Ginseng ada sekitar 2,2 juta orang yang masuk dalam kategori ini. Perusahaan logistik Korsel tidak mempekerjakan sendiri pengantar barang mereka tapi menggunakan outsourcing atau agen tenaga kerja.

Mantan pengantar barang yang menjadi agen tenaga kerja untuk CJ Logistics, Yoon Sung-goo mengatakan sistem ini membuat perusahaan menurunkan ongkos produksi. Yoon mengatakan beberapa tahun terakhir perusahaan logistik mulai berinvestasi pada mesin pengantar karena menyadari jam kerja pengantar barang masih sangat panjang. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement