Ahad 22 Nov 2020 19:41 WIB

Bukti Kebaikan Ayah Saleh akan Mengalir Meski Sudah Wafat

Sosok ayah yang saleh kebaikannya akan mengalir meski sudah wafat

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Sosok ayah yang saleh kebaikannya akan mengalir meski sudah wafat. Ilustrasi meninggal
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Sosok ayah yang saleh kebaikannya akan mengalir meski sudah wafat. Ilustrasi meninggal

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kisah perjalanan Nabi Khidir dan Musa AS menjadi salah satu kisah yang paling terkenal dan penuh makna. Cerita ini berisi misi pembelajaran yang diberikan Nabi Khidir AS kepada muridnya, Nabi Musa AS.

Salah satu potongan cerita mereka yang populer adalah ketika dua tokoh Islam itu tengah kelaparan dan kehabisan bahan makanan, lalu mereka menemukan sebuah rumah yang hampir roboh. Rumah itu lantas dirobohkan oleh Nabi Khidhr AS, untuk kemudian dibangun kembali menjadi lebih baik.

Baca Juga

Nabi Musa AS yang kala itu tengah kelaparan jelas tidak memahami jalan pikir gurunya. Nabi Musa AS lantas bertanya, "Kenapa engkau tidak mau mengambil upah (renovasi) darinya?" Dia juga mempertanyakan alasan Nabi Khidhr merobohkan rumah tua itu. Lalu sang guru menjawab, sebagaimana tertuang dalam surat Al-Kahfi ayat 82: 

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada kanzun bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kaemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 82)

Pakar fiqih, Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA, menjelaskan beberapa hal menarik dari cerita tersebut. Di antaranya tentang ayah yang Nabi Khidhr sebut sebagai ayah yang saleh. 

Sang ayah yang telah menyimpan kanzun untuk kedua anaknya tersebut telah menjalankan tugasnya sebagai ayah dengan baik, karena walau sang ayah sudah tiada, namun tugasnya sebagai seorang ayah tidak lekang hanya karena yang satu berada di alam barzakh, dan anak-anaknya berada di alam dunia. 

Mahadhir menjelaskan, menjelaskan para ulama tafsir, menyodorkan tiga makna terkait kanzun yang dimaksud dalam ayat tersebut. Pertama, harta benda, ini adalah pendapat Ikrimah dan Qatadah, sesuai dengan makna lafaz tekstual dari kata kanzun itu sendiri.

"Sampai disini harta bagi anak sangat penting, dalam konsep waris, maka warisan harta bagi anak-anak juga bisa membuat mereka berwibawa, dengan tidak meminta-minta lantaran sang ayah sudah tidak ada. Untuk poin pertama ini, semua sepakat, bahkan semua ayah sudah menyadarinya dan lebih dari itu, semua ayah sudah melakukannya dengan baik," ujar Ustadz Muhammad Saiyid Mahadhir yang dikutip di Rumah Fiqih Indonesia, Ahad (22/11).

Kedua, kanzun sebagai ilmu pengetahuan yang terpendam dalam lembaran-lembaran kertas. Ini adalah salah satu pendapat sahabat Ibnu Abbas. Selain urusan nafkah, maka seorang ayah juga dituntut untuk memberikan ilmu pengetahuan yang baik kepada anak-anak. Kedepan mereka akan hidup pada masa yang berbeda, tuntutan zaman menghendaki ilmu pengetahuan yang beragam.

"Ayah yang saleh adalah dia yang bertanggung jawab atas pendidikan anaknya bahkan walaupun dia sudah tiada. Untuk yang kedua ini tidak semua ayah bisa melakukannya," jelas Ustadz Mahadhir.

 

Ketiga, sebagai sebongkah emas yang bertuliskan diatasnya pesan kehidupan, buah dari keimanan yang kuat kepada Allah SWT, dan ini juga pendapat lainnya dari sahabat Ibnu Abbas RA. Pesan kehidupan yang didapat dari sekolah kehidupan sang ayah, berbekal ruh spiritual yang tinggi, pesan yang hanya muncul buah dari ketaqwaan seorang ayah kepada Allah SWT. 

Sumber: https://www.rumahfiqih.com/z.php?id=111

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement