Ahad 22 Nov 2020 13:43 WIB

Macron, Covid-19, dan Gelombang Islamophobia

Pesan pandemi Covid-19 mengikis sikap diskriminatif, radikalisme, terorisme.

Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamophobia beberapa waktu lalu.
Foto: Christophe Petit/EPA
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamophobia beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Lili Nur Aulia; Sekretaris Institut Indonesia

Di tengah perhatian dunia terhadap gelombang penyebaran virus Covid-19 yang semakin mengkhawatirkan, isu Islamophobia menyeruak hebat di berbagai negara Eropa. Sekalipun bukan tiba-tiba, sebab gelombang anti-Islam di berbagai wilayah tersebut bisa dikatakan sudah berakar umbi dalam sejarah.

Namun beberapa waktu terakhir, badai Islamophobia itu saat ini menerpa dengan kekuatan lebih besar. Dengan total kasus Covid-19 yang menimpa sekitar 2,13 juta orang dan total meninggal 48.518 jiwa per 11 November 2020, Prancis menjadi negara dengan angka kematian harian tertinggi sejak April hingga November.

Tetapi kini, negeri itu tengah dilanda krisis internal lain yang hadir karena ulahnya sendiri.  Pada 18 November lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengeluarkan ultimatum kepada Dewan Muslim Prancis atau CFCM untuk segera menandatangani pakta 'nilai-nilai republik' yang antara lain berisi bahwa Islam adalah agama dan bukan gerakan politik serta melarang "campur tangan asing" dalam kelompok-kelompok Muslim. Lembaga CFCM diberi waktu maksimal 15 hari untuk menyetujui pakta tersebut. 

Ultimatum Presiden Macron itu muncul di tengah stigmatisasi komunitas Muslim di Prancis akibat tiga serangan teror yang sebenarnya dikutuk juga oleh umat Islam. Pertama, pembunuhan di Katedral Notre Dame di Nice, lalu ancaman orang bersenjata di Avignon dan petugas keamanan konsulat Prancis di Jeddah yang ditusuk. 

Sebelumnya, Presiden Macron menyebut Islam sebagai agama "dalam krisis" dan membela hak majalah satire untk menerbitan karikatur negatif tentang Nabi Muhammad dengan dalih kebebasan berekspresi. Pemerintah Prancis pun terus menggaungkan provokasi anti-Muslim dengan dalih kebebasan berpendapat lewat agensi, surat kabar, dan majalah.

Menteri Dalam Negeri Prancis akan mendeportasi keluarga Muslim yang tidak mau menerima kebijakan terkait karikatur Nabi Muhammad SAW. Ancaman itu diungkapkan Mendagri Prancis di Radio French Europe 1, di mana Muslim yang menolak menampilkan karikatur Nabi Muhammad SAW akan digugat oleh Pemerintah Prancis ke pengadilan. Dan mereka akan dideportasi berdasarkan keputusan pengadilan. Langkah-langkah Pemerintah Prancis itu makin tajam dan mengenai sekitar 7 juta Muslim Prancis yang menjadikannya sebagai negara Eropa terbesar berpenduduk Muslim.

Dengan begitu, meski menggembar-gemborkan kebebasan sedemikian rupa, ternyata Macron memaksakan aturannya terhadap umat Islam. Yang maknanya, tidak memberi kebebasan berekspresi kepada umat Islam.

Macron juga berbeda sikap ketika bersinggungan dengan umat Islam yang disamaratakan sebagai pemicu krisis, dan ketika menyikapi Israel. Macron bersumpah akan melakukan pelarangan terhadap sikap 'anti-Zionisme'. Rasisme dianggap tidak berkaitan dengan upaya memerangi kejahatan kebencian. Berbicara di hadapan Dewan Perwakilan Lembaga Yahudi Prancis (Crif), Macron menyebutkan hal yang cukup kontroversial. "Anti-Semitisme bersembunyi di balik anti-Zionisme."

Dari sisi aliran politik, perkembangan kasus yang menimpa umat Islam di berbagai negara bisa dilihat dari wujud tekanan kelompok ekstrem kiri di satu sisi dan ekstrem kanan di sisi lain. Umat Islam berada dalam posisi terjepit.

Di Prancis, dalih Islamophobia yang selalu diangkat adalah kebebasan berekspresi sebebas-bebasnya hingga melukai kebebasan pihak lain. Dalam konteks ini adalah umat Islam. Berbeda dengan Islamophobia yang kini muncul di Swedia dengan pembakaran kitab suci Alquran, diorganisasi oleh aktivis kelompok sayap kanan pimpinan Stram Kurs.

Tokoh Parlemen Partai Sverigedemokraterna (Demokrat Swedia) menegaskan sikap anti-Islamnya dengan mengatakan, "Kenapa kami harus berubah menjadi negara Timur Tengah? Kenapa kami mesti peduli dengan Islam? Swedia bukan negara Islam. Kenapa kami harus terpengaruh dengan salah satu ideologi terburuk di dunia?” Baik aktivis ekstrem kiri dan kanan, keduanya sama-sama mendukung Islamophobia dengan sudut pandang berbeda.

Anggapan senada soal Muslim juga terjadi di Eropa yang arah politiknya memang lebih condong ke kanan. Majalah sayap kanan Polandia, wSieci atau The Network menyebut, imigran Muslim menciptakan neraka dan merupakan invasi dari kebudayaan, tata nilai, dan norma masyarakat Eropa. Islam dituduh tak bisa menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tata nilai, dan kebudayaan Eropa. 

Di Prancis, usai insiden Charlie Hebdo, menurut European Islamophobia Report (EIR) sentiment anti-Islam meningkat 500 persen. Seperti gayung bersambut, di Jerman, kelompok Pegida alias Patriotic Europeans Against the Islamisation of the West menyitir ada upaya sistematis, terukur, dan masif untuk mengislamkan Eropa, dan berusaha mengganti nilai-nilai luhur kebudayaan Eropa dengan Islam. Mereka juga menyebut Muslim sebagai penyebab munculnya berbagai kekerasan dan kriminalitas yang terjadi. 

Di Amerika, dikenal istilah supremasi putih yang menganggap bahwa ras putih lebih superior dari ras lainnya. Biasanya dikaitkan dengan rasisme anti-hitam dan anti-Semitisme, meskipun banyak digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap pribumi Amerika, orang China, orang Irlandia, Asia Tenggara, dan lainnya. Paham ini menganggap orang kulit putih tidak hanya superior terhadap yang lain, tapi juga harus berkuasa atas mereka atau bahkan boleh membinasakan mereka. Umat Islam, termasuk dalam konteks yang ditolak oleh kelompok ini. 

Di India, sistem politiknya juga bergeser ke kanan, ditambah dengan sejarah permusuhan panjang Muslim versus Hindu, membuat minoritas Muslim dimarginalkan. Bahkan, Pemerintah India sudah melegitimasi diskriminasi atas kelompok Muslim lewat UU Kewarganegaraan yang membuka izin menjadi warga negara untuk seluruh pemeluk agama, kecuali Muslim.

Melihat berbagai kasus penindasan terhadap umat Islam itu, sepertinya kekerasan sistemis atas kelompok Muslim selalu terjadi. Baik ketika arah ideologi politik mengarah ke kiri-kirian seperti di Prancis atau ke kanan-kananan seperti di Swedia, Jerman, Amerika, India, dan berbagai negara lain.

Secara dominan, objeknya sama, umat Islam. Isu besarnya juga sama, Islamophobia. Dengan mengeksploitasi tema kebebasan bagi aliran ekstrem kiri dan eksploitasi nasionalisme bagi aliran ekstrem kanan. 

Di sisi lain, diakui memang ada sebagian kecil dari kelompok yang mengatasnamakan Islam, yang menganggap jalan penyelesaian ragam persoalan adalah melalui tindak terorisme. Namun tindakan itu seperti menggurita, bisa karena memang ada pihak yang membuat skenario benturan terhadap Islam dengan memelihara kelompok garis keras Islam serta berbagai isu yang bisa mendiskreditkan Islam, juga framing media luar biasa melahirkan kebencian terhadap Islam di berbagai tempat.

Tentu saja mengkritisi berbagai kondisi di atas, tidak lantas berarti mendukung rangkaian aksi teror yang terjadi di manapun dan dilakukan siapa pun. Sebab, ajaran dan sikap dari terorisme ditolak oleh pandangan agama manapun dan negara manapun.

Akan tetapi saat ini, kita harusnya lebih sadar bahwa dunia tanpa kecuali sedang mengalami krisis pandemi dunia akibat Covid-19. Salah satu pesan besar dari krisis ini sebenarnya adalah menyadari kesamaan kondisi yang membuahkan objektif, moderat,  dan menjunjung kebersamaan. Pesan pandemi Covid-19 yang harusnya ditangkap adalah mengikis sikap diskriminatif, ketidakadilan, radikalisme, terorisme, yang mencederai sesama.

Sebab, tak ada hal istimewa untuk tidak terpapar Covid-19, ras apa pun, aliran mana pun, agama apa pun, bangsa apa pun. Bukan justru menambah beban kemanusiaan dengan sikap ambivalen, tidak adil, saling menekan, dan semacamnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement