Sabtu 21 Nov 2020 11:13 WIB

Kegalauan Ricky Yacobi dan Cara Indah Temui Sang Pencipta

Ricky Yacobi berkontribusi membawa Indonesia ke semifinal Asian Games 1986.

Aksi Ricky Yacobi sesaat sebelum mencetak gol dan meninggal dunia.
Foto: ISTIMEWA
Aksi Ricky Yacobi sesaat sebelum mencetak gol dan meninggal dunia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Israr Itah*

"Kau apa main bola kek gitu. Lari kau macam layangan singit...miring-miring." Saya hanya nyengir ketika mendengar kalimat ini dilontarkan kepada saya. Saya tak bisa menjawab, apalagi mendebat. Sebab yang berkata adalah salah satu legenda sepak bola Indonesia bernama Ricky Yacobi, beberapa tahun lalu saat saya masih aktif meliput sepak bola nasional. Tepatnya, saat kami satu tim bermain di Lapangan C Senayan.

Baca Juga

Ricky adalah penyerang jempolan Indonesia pada pertengahan 1980-an sampai awal 1990-an. Pada masa lalu, ia dijuluki Paul Breitner-nya Indonesia. Padahal, posisi keduanya berbeda. Ricky sebagai penyerang, sementara Breitner, bintang timnas Jerman dan Bayern Muenchen, beroperasi di tengah.

Ada pula yang menjulukinya Paul Mariner Indonesia. Nama kedua ini adalah penyerang Inggris yang kebetulan dikagumi Ricky.

Ricky berkontribusi membawa Indonesia ke semifinal Asian Games 1986. Setahun kemudian ia mengantarkan Indonesia meraih emas sepak bola SEA Games 1987. Pada tahun itu pula, dalam usia 24 tahun, Ricky membawa Arseto juara kompetisi Galatama. 

Namanya melejit mengimbangi para penyerang yang lebih dulu muncul dan menjadi andalan timnas seperti Bambang Nurdiansyah dan Adolf Kabo. Ricky kemudian dikontrak klub Matsushita Jepang, tapi hanya bermain dalam empat laga dan mencetak satu gol. Ricky tak mampu beradaptasi dengan cuaca dingin Jepang dan akhirnya balik ke Indonesia. Ricky kembali memperkuat Arseto, BPD Jateng, kemudian pensiun bersama PSIS pada 1995. 

Dengan CV seperti itu, bagaimana bisa saya berkata apa-apa saat dia mem-bully saya di lapangan hijau? 

Ricky dekat dengan para wartawan sepak bola. Ia sering bermain bola bersama kami di lapangan ABC Senayan. Statusnya sebagai karyawan perusahaan yang memproduksi sepatu dan apparel olahraga membuat silaturrahminya dengan para wartawan terus terjaga. 

Secara personal, dalam artian sering bertemu atau berkomunikasi via hape, saya tak akrab dengan beliau. Namun ketika bertemu di lapangan, kami bisa langsung dekat. Boleh jadi, karena kami sama-sama dari Sumatera Utara, keakraban itu lebih cepat terjalin.

Awal perkenalan saya dengan Ricky terjadi pada 2007 saat saya mewawancarainya panjang lebar soal sekolah sepak bola (SSB), PSSI, dan timnas. Ketika itu, dia baru selesai melatih anak didiknya.

Tahu saya dari Binjai, kota kecil sekitar 15 km dari Medan, pembicaraan kami pun sempat melebar ke daerah asal kami. Ada juga soal PSMS yang terus terpuruk. Apalagi, pada dasarnya, Ricky orang yang cukup hangat dan terbuka, terutama membahas soal sepak bola. Satu jam waktu jadi tak berasa.

Sejak itu, ketika bertemu di lapangan bola atau di tempat lain, kami saling menyapa. Tentu dengan salam khas anak Medan. Bila waktu cukup panjang, diskusi soal sepak bola sudah pasti ada.

Satu waktu, ia pernah mengeluhkan minimnya kemampuan individual para pemain muda Indonesia. "Saat menyerang, melewati satu lawan satu saja susah. Ngasi umpan ke penyerang pun asal tendang saja. Striker posisinya di mana, bola larinya entah ke mana," katanya mengeluhkan. 

Menurut Ricky, ini karena saat kecil para pemain itu tak diasah untuk mengembangkan skill individual. Atas pertimbangan ini pula ia membuka sekolah sepak bola. Ricky ingin menularkan ilmu dasar sepak bolanya kepada anak-anak.

Dulu saat memperkuat timnas, Ricky mengaku diasah oleh Wiel Coerver untuk meningkatkan kemampuan individualnya. Sementara ketika bermain di bawah pelatih Bertje Matulapelwa, ia ditekankan kepada kerja sama kolektif.

Pada kesempatan lain, ia memberikan pandangannya tentang salah satu cara menghasilkan bibit-bibit pesepak bola berbakat. Ia berharap instansi pemerintahan dan perusahaan punya tim sepak bola dan menggelar kompetisi atau turnamen.

"Mungkin kita harus kembali ke zaman dulu di mana perusahaan punya tim sepak bola binaan. Jepang dulu belajar dari kita, masih bertahan sampai sekarang, dan sepak bola mereka maju. Kita malah meninggalkan itu," keluhnya.

Menurut Ricky, banyaknya tim yang disokong langsung perusahaan atau instansi akan menggairahkan sepak bola. Banyak turnamen atau kompetisi yang bergulir membuat bakat-bakat itu terasah dan para pemandu bakat tidak perlu repot-repot lagi menggelar seleksi.

Peluang pemain bagus luput dari seleksi juga bisa diminimalisasi dengan aktifnya kompetisi di akar rumput atau semi profesional. Rutin berlatih dengan benar dan tampil dalam pertandingan sesungguhnya membuat kemampuan individual pemain terasah.

Masih banyak lagi kegalauan-kegalauan Ricky tentang sepak bola Indonesia. Akan terlalu panjang jika dijabarkan semua di sini.

Bila ada sosok yang hidup matinya untuk sepak bola, secara harfiah, Ricky-lah orangnya. Gantung sepatu dari sepak bola profesional tak membuatnya jauh dari kehidupan yang membesarkan namanya. Selain aktif menularkan ilmunya kepada pesepak bola muda, Ricky juga masih menghabiskan waktu senggangnya di lapangan hijau. Di lapangan hijau pula ia mengembuskan nafas terakhir.

Benar, Ricky Yacobi telah tiada. Sabtu (21/11) pagi, di Lapangan A Senayan, Jakarta, sang legenda berpulang menghadap Sang Pencipta dengan cara terindah bagi seorang pesepak bola. Ia mencetak gol dan kemudian pergi untuk selamanya.

Ricky membela tim Ini Medan Bung bertanding melawan tim Rap-Rap dalam laga antarsesama perantau asal Sumatera Utara. Menurut penuturan Loudy Hutabarat, salah satu wartawan yang juga ikut bermain, Ricky tumbang selepas menjebol gawang lawan lewat tendangan akuratnya.

Gol terakhirnya ini tak sembarangan, representasi semua kelebihannya sebagai striker berkelas pada masa jayanya. Menerima sodoran bola dari sisi kiri, Ricky membalikkan badan kemudian melepaskan tendangan ke gawang. Gol! 

"Abang kita balik badan ingin selebrasi ke rekan-rekannya, tapi tiba-tiba jatuh tertelungkup dan wajahnya mencium tanah," kata Lody.

Pertolongan pertama langsung diberikan dengan memberikan nafas buatan dan menekan dada Ricky. Ia kemudian bergegas dibawa ke RS AL Mintoharjo. Namun, nyawanya tidak bisa tertolong. Ricky pergi dalam usia 57 tahun.

Tak ada lagi kehangatan dan canda tawa khas Medan ala Ricky di lapangan. Sepak bola Indonesia kehilangan sosok yang sangat mencintai olahraga ini. Yang pasti, kami tak akan melupakan jasa-jasamu untuk sepak bola negara ini. Selamat jalan, Bang Ricky!

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement