Sabtu 21 Nov 2020 09:50 WIB

Eropa Disebut Perlu Pelatihan Imam

Imam di Prancis disebut perlu pelatihan.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Eropa Disebut Perlu Pelatihan Imam. Foto: Masjid Agung Lyon, Prancis.
Foto: Wikipedia
Eropa Disebut Perlu Pelatihan Imam. Foto: Masjid Agung Lyon, Prancis.

REPUBLIKA.CO.ID, GENOA -- Institut Kebebasan Beriman dan Keamanan di Eropa, menggelar acara bertajuk, "Memerangi Ekstremisme Agama dan Terorisme di Eropa: Apa Selanjutnya?" Pada Jumat (20/11). Para peserta percaya Eropa sangat membutuhkan pendekatan umum untuk pelatihan para imam dan untuk berbagi praktik terbaik tentang cara melawan radikalisasi agama setelah serangan teror baru-baru ini di Prancis dan Austria.

Pada Rabu (18/11), media Prancis melaporkan bahwa Presiden Prancis, Emmanuel Macron bertemu dengan Dewan Ibadah Muslim Prancis dan memintanya untuk mengeluarkan dalam waktu dua pekan dengan piagam nilai-nilai Republik yang harus dihormati oleh organisasi anggota dan afiliasinya.  Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari upaya Prancis untuk mengkonsolidasikan pelatihan dan akreditasi para pemimpin komunitas agama di negara itu.

Baca Juga

"Kami perlu menciptakan kondisi di tingkat Eropa untuk melatih para imam. Jika tidak, negara lain akan melakukannya, seperti Turki. Erdogan ingin mengendalikan komunitas Islam," kata Mantan perdana menteri Prancis, Manuel Valls, dilansir dari laman Sputnik News pada Sabtu (21/11).

Dia menambahkan, komunitas Turki dengan menggunakan dukungan keuangan berusaha untuk mengontrol komunitas Islam Sunni di Eropa.

"Dari segi hukum, politik dan agama, perlu kita kontrol, untuk membantu membangun agama Islam yang tercerahkan," kata Valls.

Menurut media Prancis, di antara nilai-nilai yang harus ditetapkan dalam piagam yang diwajibkan oleh Macron, harus ada penyebutan bahwa Islam di Prancis merupakan agama dan bukan gerakan politik.

Anggota House of Commons Inggris dan mantan Utusan Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Rehman Chishti percaya bahwa tindakan seperti itu saja tidak bisa efektif, dan sebaliknya yang dibutuhkan adalah kerja sama dengan para pemimpin agama itu sendiri, serta berbagi praktik terbaik di antara  negara-negara di Eropa.

"Apa yang kami lihat di Prancis dan apa yang kami lihat di Wina dengan masalah individu yang tersedot ke dalam ideologi beracun di tempat ibadah, saya pikir solusinya adalah dengan berbagi praktik yang baik antara mitra Eropa kami dan Inggris tentang bagaimana  untuk mengatasinya," kata Chishti.

Dia membuat contoh keputusan pemerintah Inggris untuk memperkenalkan aturan yang mewajibkan organisasi agama mana pun yang menerima dana lebih dari 5.000 pound untuk mendeklarasikannya.

"(para pemimpin agama harus dipanggil) membuka kedok segala upaya untuk memanipulasi Tuhan untuk tujuan yang tidak ada hubungannya dengan dia atau kemuliaannya," kata dia.

Seorang ahli Islamisme dan penulis dari Jerman, Ahmed Mansour juga menyoroti perlunya pendekatan bersama Eropa untuk masalah radikalisasi.

"Yang masih kurang, tantangan besar adalah menemukan solusi global Eropa. Setelah serangan seperti itu, kami melihat titik lemah dalam kerja sama antara pihak berwenang, antara polisi atau dinas rahasia. Kami membutuhkan lebih banyak pertukaran informasi," ucap Mansour.

Adapun Eropa sedang berusaha untuk meningkatkan perjuangannya melawan Islamisme radikal dan terorisme setelah beberapa serangan brutal bermotif agama di Prancis dan Austria pada Oktober dan awal November. Seorang pria berusia 21 tahun dari Tunisia membunuh tiga orang di sebuah gereja di kota selatan Prancis, Nice, termasuk dua orang dengan cara dipenggal, pada 29 Oktober.

Dua pekan sebelumnya, seorang remaja Muslim lokal berusia 17 tahun memenggal kepala seorang guru Paris yang menunjukkan karikatur Nabi Islam Muhammad selama pelajaran kebebasan berbicara. Serangan teroris lainnya terjadi di Austria pada 2 November, merenggut nyawa empat orang, tidak termasuk pelaku, dan melukai 17 lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement