Jumat 20 Nov 2020 12:55 WIB

Formasi dan APTI Tetap Tolak Rencana Kenaikan Cukai

Pemerintah harus mempertimbangkan perlindungan kepada pabrikan menengah kecil.

Warga menjemur tembakau rajangan di kawasan lembah Gunung Sumbing, Desa Kledung, Temanggung, Jawa Tengah. (ilustrasi)
Foto: Antara/Anis Efizudin
Warga menjemur tembakau rajangan di kawasan lembah Gunung Sumbing, Desa Kledung, Temanggung, Jawa Tengah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua organisasi industri hasil tembakau (IHT) di Tanah Air, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) dan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) tetap menolak rencana kenaikan cukai tembakau di tahun 2021. Alasannya, rencana kenaikan cukai tidak akan efektif menaikkan penerimaan negara.

Yang akan terjadi justru semakin cukai rokok naik, harga rokok menjadi semakin tinggi sehingga membuat penjualan rokok menjadi semakin susah. Akhirnya nanti dikhawatirkan rokok yang laku di pasaran adalah rokok ilegal yang tidak menggunakan label cukai. Akibatnya penerimaan negara dari sisi cukai juga akan menurun.

Hal tersebat disampaikan Sekjen Formasi JP Suhardjo, Ketua APTI Jawa Barat Suryana, dan Ketua APTI Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahminudin di Jakarta. “Seluruh anggota Formasi, merasa berat jika tarif cukai naik karena tidak akan efektif terhadap penerimaan negara. Sebab selama ini peredaran rokok ilegal semakin marak. Kalau tarif cukai naik, ini malah memberi rongga kepada pelaku ilegal untuk giat produksi,” ujar Suhardjo.

    

Menurut Suhardjo pemerintah harus mempertimbangkan perlindungan kepada pabrikan menengah kecil sebelum mengeluarkan kebijakan. Jika ada pertimbangan target penerimaan negara, pihaknya tidak memungkiri hal itu. "Namun tentu sasarannya bukan rokok saja, ada bidang lain yang bisa dikelola," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Saat ini anggota Formasi mencapai sekitar 60–70 pabrikan. Jumlah buruhnya lebih dari 30 ribu orang. 70 persen dari anggota Formasi masih bertahan. Suhardjo mengatakan seharusnya pabrik rokok yang masih bertahan diberikan  perlindungan, bukan malah dimatikan lewat kenaikan tarif cukai rokok yang besar setiap tahun.

“Kenaikan tarif cukai memberatkan industri. Karena itu, idealnya tarif cukai tetap. Apalagi sekarang masa Covid, semua kena pengaruhnya. Semua sektor lesu. Kalau tarif cukai naik, saya tidak tahu lagi, bisa semakin banyak yang gulung tikar,” ujarnya berkeluh kesah.

Sekjen Formasi mengingatkan jika pemerintah tetap menaikkan cukai rokok maka akan muncul efek domino. Sektor lain juga akan kena termasuk petani tembakau.

APTI beberapa hari lalu menggelar aksi penolakan rencana kenaikan cukai di depan Istana Presiden. Tiga orang perwakilan APTI lantas diterima oleh Kantor Sekretariat Presiden (KSP). Dalam pertemuan disampaikan, pemerintah akan menaikkan cukai rokok setelah pilkada serentak bulan Desember.

Cukai rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) tidak dinaikan. Sekiranya dinaikkan, angkanya sangat minimal. Sementara rokok non-SKT akan dinaikkan sebesar 19 persen.

Sahminudin mengatakan rencana kebijakan itu tidak akan menolong petani tembakau yang akan tetap merugi. Alasannya, pemakaian tembakau oleh SKT sangat rendah. Produksi rokok SKT hanya sekitar 18 persen dari jumlah rokok yang diproduksi di Tanah Air.

"Selebihnya rokok sigaret kretek mesin regular atau SKMR sekitar 44 persen, SKM light 32 persen dan sisanya rokok sigaret putih mesin atau SPM,” ujar Sahminudin menjelaskan.

Karena jumlah produksi rokok SKT sangat kecil, Sahminudin mengatakan jumlah tenaga kerja dan tembakau yang terserap juga sangat sedikit. Sehingga apabila hanya rokok jenis SKT yang cukainya tidak dinaikkan, itu tetap merugikan petani dan industri rokok nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement