Kamis 19 Nov 2020 22:14 WIB

Korpri Usulkan Redesain Sistem Karier ASN Demi Netralitas

Ketua Umum Korpri usulkan sistem karier ASN didesain ulang

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Jumpa pers dengan Ketua Umum KORPRI. Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Zudan Arif Fakrulloh mengusulkan sistem karir aparatur sipil negara (ASN) didesain ulang. Zudan menilai desain ulang sistem karier ASN ini bagian upaya menjaga netralitas ASN.
Foto: Republika/Neni Ridarineni
Jumpa pers dengan Ketua Umum KORPRI. Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Zudan Arif Fakrulloh mengusulkan sistem karir aparatur sipil negara (ASN) didesain ulang. Zudan menilai desain ulang sistem karier ASN ini bagian upaya menjaga netralitas ASN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Zudan Arif Fakrulloh mengusulkan sistem karir aparatur sipil negara (ASN) didesain ulang. Zudan menilai desain ulang sistem karier ASN ini bagian upaya menjaga netralitas ASN.

Sebab, netralitas ASN selalu menjadi isu yang mencuat setiap kali ada pemilihan umum. "Karena itu perlu merumuskan satu solusi agar tidak terulang dan tidak menimbulkan kegaduhan saban kali ada pilkada," ujar Zudan dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (19/11).

Zudan menilai, persentase ASN yang tidak netral terhitung sedikit dibandingkan 4,2 juta ASN yang ada saat ini. Namun, jumlah yang sedikit ini justru membuat imej seluruh ASN tidak netral. 

"ASN yang profesional jauh lebih banyak jumlahnya dibanding yang tidak netral. Namun meskipun sedikit jumlahnya tetap harus kita tangani," kata dia.

Karena itu, Zudan mengajak semua pihak memikirkan sistem merit baru agar ASN tidak menjadi korban dari ritual politik lima tahunan. Menurutnya, ada dua faktor penyebab yang membuat ASN menjadi tidak netral, yakni faktor eksternal dan faktor internal.

Faktor eksternal kata Zudan, terjadi lantaran sistem politik yang ada menyebabkan ASN bisa tidak netral atau dipaksa oleh sistem untuk tidak netral. Komdisi kata Zudan terjadi ketika pejawat maju kembali dalam pemilihan.

"Kalau incumbent gubernur/bupati dan wakilnya maju satu paket tidak ada pergolakan bagi ASN. Apalagi kalau menang. ASN-nya nyaman. Tetapi jika wakilnya maju, gubernur/bupati incumbent maju, birokrasi bisa terbelah," ungkap Zudan.

Ia mengatakan, masing-masing calon pejabat itu kerap menjanjikan dan memberikan gratifikasi politik dan jabatan demi kemenangan.

Selain itu, ia juga menyayangkan sistem politik yang membolehkan pejabat yang tidak maju mencalonkan diri dalam pilkada namun tetap berkampanye. Hal ini kata Zudan, banyak terjadi sehingga ASN yang kepala daerahnya sudah dua periode menjabat ikut kampanye untuk calon separtainya.

Ia pun menyampaikan regulasi yang mengatur tentang kebolehan kepala daerah/wakil kepala daerah yang sedang berkuasa cuti untuk ikut kampanye mendukung calon tertentu, itu perlu dikritisi. Sebab merugikan ASN dan menjadikan ASN terbelah.

"Misalnya, ASN diperintahkan mengerjakan materi yang dikampanyekan. Kalau tidak dikerjakan dimarahi kepala daerah. Kalau dikerjakan, ya kalo calon yang didukung sang kepala daerah itu menang, kalau kalah, ASN tersebut bisa dinonjobkan calon kepala daerah yang menang. Ini yang menyebabkan ASN tidak nyaman. Ini perlu kita kaji," kata Zudan.

Faktor eksternal lain yang ia soroti adalah sistem merit yang masih sangat tergantung pada kepala daerah.

"Saya menyebutnya merit system yang sangat tergantung politik lokal. Sebab pejabat kita diangkat oleh PPK. Eselon II, Eselon III, Sekda provinsi diangkat oleh PPK. Eselon I yang diangkat oleh presiden. Jadi betapa tergantung sistem meritnya dengan para kepala daerah," kata Zudan.

Karena itu, ia mengusulkan agar sistem karier ASN didesain ulang."Yakni pejabat eselon II selayaknya menjadi pejabat nasional. Sehingga dia bisa dimutasi antarprovinsi dan yang menempatkan itu Menteri PANRB, Mendagri, atau Presiden. Jadi dia bisa ditempatkan di mana pun tidak tergantung satu kepala daerah saja. Diputar dalam satu provinsi atau berputar antar provinsi," ungkapnya menjelaskan buah pikiran.

Sementara faktor internalnya yakni karena keakraban ASN dengan pasangan calon. Ia mencontohkan, calon kepala daerah sangat akrab dengan Sekretaris Daerah setempat.

"Lalu anak buah Sekda tidak enak kalau tidak mendukung. ini mendukung karena kedekatan, karena utang budi. Ini faktor internal yang harus bisa kita antisipasi agar tidak terjebak dalam sikap tidak netral," kata Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement