Kamis 19 Nov 2020 20:52 WIB

Kritik Atas Rendahnya Tuntutan Anggota TNI Penganiaya Warga

Jusni, warga Tanjung Priok dianiaya berujung pada kematian pada 9 Februari 2020.

Peradilan Militer
Foto: Antara
Peradilan Militer

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Ronggo Astungkoro

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyayangkan rendahnya tuntutan Oditur Militer terhadap 11 orang anggota TNI dari kesatuan Yonbekang 4/Air atas dugaan praktik penyiksaan yang berujung kematian terhadap Jusni (24 tahun) di Jakarta Utara.

Baca Juga

Pada lanjutan persidangan dengan agenda pembacaan di Pengadilan Militer II/08 Jakarta pada 17 November 2020, Oditur Militer menuntut para terdakwa dengan hukuman dari 1 – 2 tahun penjara dan hanya dua orang terdakwa anggota TNI yang diberikan hukuman tambahan berupa pemecatan dari dinas militer.

"Rendahnya tuntutan ini membuktikan bahwa proses persidangan yang berjalan tidak objektif dan tidak adil. Kami berpendapat bahwa proses persidangan yang berlangsung di Pengadilan Militer II/08 Jakarta tidak mengungkapkan fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi," kata Kontrasdalam keterangan sebagaimana disampaikan Peneliti KontraS Andy Muhammad Rezaldy pada Republika, Kamis (19/11).

Kontras mencatat, ada sejumlah kejanggalan dalam proses penuntutan itu. Menurut Kontras, peristiwa yang diungkapkan hanya berfokus pada peristiwa penyiksaan yang terjadi di depan Masjid Jamiatul Islam, padahal masih terdapat dua tempat terjadinya peristiwa penyiksaan yang harus diungkap dan didalami dalam proses persidangan yakni peristiwa di Jalan Enggano dan Mess Perwira Yonbekang 4/Air.

Kemudian, menurut Kontras, barang bukti yang dihadirkan oleh Oditur Militer tidak sesuai dengan fakta peristiwa. Andi menyebut setidaknya terdapat dua barang bukti yang tidak dihadirkan yakni alat menyerupai tongkat dan hanger.

Kemudian, menurut Kontras, dalam proses persidangan, diketahui Oditur Militer tidak berupaya mengurai dan mengungkap rantai pertanggungjawaban komando atas peristiwa penyiksaan ini. Mengingat salah satu lokasi yang diduga menjadi tempat penyiksaan itu berada di area militer, yang mana area tersebut hanya dapat diakses oleh anggota militer dan harus memiliki izin untuk memasuki area tersebut.

"Apabila pejabat publik khususnya dalam hal ini ialah atasan para terdakwa mengetahui peristiwa penyiksaan namun membiarkannya, maka ia dianggap menjadi bagian dari kejahatan itu dan harus mempertanggungjawabkannya secara pidana," papar Andi.

Adapun upaya-upaya perdamaian yang selalu ditawarkan kesatuan Yonbekang 4/Air melalui Oditur Militer ditolak pendamping keluarga korban yang meminta proses peradilan dapat berjelan terus serta menghukum para terdakwa dengan hukuman yang berat. Namun, rekomendasi keringanan hukuman justru disampaikan Kapusbekangad dan dikabulkan Oditur Militer.

"Hal ini menunjukkan ada upaya intervensi terhadap proses peradilan dan menimbulkan konflik kepentingan. Selain itu, hal ini juga membuktikan bahwa ada upaya perlindungan kepada para terdakwa yang melakukan penyiksaan," ujar Andi.

Kontras mendesak pun mendesak Majelis Hakim Pengadilan Militer II/08 Jakarta yang menyidangkan perkara tersebut dapat memberikan putusan maksimal kepada para terdakwa, agar k edepan peristiwa serupa tidak terjadi dan dapat dijadikan pembelajaran bagi prajurit-prajurit TNI lainnya;

"Tanpa bermaksud mengintervensi proses persidangan, kami berharap agar Majelis Hakim mempertimbangkan kondisi serta kedudukan pelaku sebagai alat negara yang dijadikan dasar pemberatan perbuatan, pidana terdakwa. Dan memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban," kata Andi.

Bagi peneliti Kontras, Rivanlee Anandar, ringannya penuntutan kasus pidana penyiksaan yang berujung kematian pada Jusni (24 tahun) memunculkan persepsi di masyarakat bahwa ada perlakuan berbeda di muka hukum. Terjadinya perbedaan tersebut bisa dilihat dari beberapa kasus yang belakangan ditangani.

Kasus 'ringan' di proses peradilan sipil bisa dituntut bertahun-tahun, misalnya dalam perkara ujaran kebencian yang dilakukan oleh Jerinx SID, di mana ia dituntut 3 tahun penjara, hingga akhirnya divonis satu tahun penjara. Sementara, dalam perkara oknum TNI yang melakukan penganiayaan terhadap Jusni hingga tewas di Jakarta Utara, dari 11 anggota yang terlibat, sembilan di antaranya hanya dituntut 1-2 tahun penjara oleh Oditur Militer.

"Oh iya jelas (terjadi ketidakadilan). Ketimpangan hukum itu terjadi ketika penegakan hukum menyasar pada aparat hukum," ujar Rivanlee, Kamis (19/11).

Berkaca dari kasus tersebut, Rivanlee meenambahkan, bahwa Pengadilan Militer masih menjadi celah bagi TNI atau aparat untuk tidak tunduk pada supremasi sipil. Bahkan, kata dia, hal ini menjadi cara untuk legitimasi impunitas dalam kasus pidana maupun pelanggaran HAM.

"Tak heran kekerasan di tubuh TNI terus terjadi," tambahnya.

Masih adanya impunitas itu, lanjut Rivanlee, maka masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diperbaiki dalam proses peradilan hukum di Indonesia. Namun, tiga hal yang paling utama harus diperbaiki, kata dia, adalah peradilan militer,  Kemudian kualitas penegakan hukum di tingkat aparat kepolisian.

"Yang ketiga mekanisme pengawasan internal TNI dan eksternal," kata dia menambahkan.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen TNI Achmad Riad saat dikonfirmasi, Kamis (19/11), menerangkan, tuntutan terhadap anggota-anggota TNI itu yang menganiaya Jusni berbeda-beda. Sebanyak dua orang anggota dituntut pemecatan, sementara sembilan anggota lainnya dituntut hukuman penjara selama satu hingga dua tahun.

"Tuntutan dua dipecat, kemudian sembilan antara satu hingga dua tahun. Kemudian secara terbuka, jadi terbuka (persidangannya) silakan," kata Achmad.

Ke-11 terdakwa itu adalah Letda Cba Oky Abriansyah NP, Letda Cba Edwin Sanjaya, Serka Endika M Nur, Sertu Junedi, Serda Erwin Ilhamsyah, Serda Galuh Pangestu, Serda Hatta Rais, Serda Mikhael Julianto Purba, Serda Prayogi Dwi Firman Hanggalih, Praka Yuska Agus Prabakti, dan Praka Albert Panghiutan Ritonga.

Untuk diketahui, dugaan praktik penyiksaan yang berujung pada kematian dialami Jusni (24) pada 09 Februari 2020 di Jakarta Utara. Korban disiksa dengan cara dipukul, ditendang, ditabrak dengan motor, dihantam dengan meja, dipukul pakai tongkat hingga disabet pakai hanger. Aras peristiwa ini diketahui tedapat 11 (sebelas) anggota TNI dari kesatuan Yonbekang 4/Air diadili.

Peristiwa tersebut menambah deretan panjang catatan hitam perbuatan tidak manusiawi yang kerap dilakukan oleh aparat kemanan. Didasari pada pemantauan Kontras terkait institusi TNI selama Oktober 2019-September 2020, pihaknya menemukan 76 peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan ataupun melibatkan anggota TNI.

Angka ini mengalami peningkatan dari jumlah kekerasan dan pelanggaran HAM tahun 2018-2019 yang berjumlah 58 peristiwa. Lalu terkait institusi Polri, kami menemukan (periode Juli 2019 – Juni 2020) tercatat telah terjadi 921 peristiwa kekerasanoleh pihak kepolisian, sebanyak 1.627 jiwa luka-luka, dan sebanyak 304 jiwa tewas.

 

photo
TNI melakukan realokasi anggaran sebesar Rp 196,8 miliar untuk membantu penanganan virus Covid-19 atau corona. - (Pusat Data Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement