Jumat 20 Nov 2020 02:37 WIB

Problematika Kerumunan yang Memusingkan

Kerumunan massa masih terus terjadi di masa pandemi covid-19.

Sejumlah pendukung salah satu pasangan bakal calon kepala daerah Makassar melakukan konvoi menggunakan kendaraan menuju ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar di Sulawesi Selatan, Jumat (4/9/2020). Konvoi para pendukung pasangan bakal calon kepala daerah di Makassar masih terjadi saat pendaftaran meski sudah ada imbauan dari menteri dalam negeri agar dalam proses pendaftaran tidak diperbolehkan adanya konvoi dan melibatkan pendukung setiap pasangan bakal calon guna menghindari kerumunan massa sebagai langkah antisipasi penyebaran COVID-19.
Foto: ANTARA/Abriawan Abhe
Sejumlah pendukung salah satu pasangan bakal calon kepala daerah Makassar melakukan konvoi menggunakan kendaraan menuju ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar di Sulawesi Selatan, Jumat (4/9/2020). Konvoi para pendukung pasangan bakal calon kepala daerah di Makassar masih terjadi saat pendaftaran meski sudah ada imbauan dari menteri dalam negeri agar dalam proses pendaftaran tidak diperbolehkan adanya konvoi dan melibatkan pendukung setiap pasangan bakal calon guna menghindari kerumunan massa sebagai langkah antisipasi penyebaran COVID-19.

Oleh : Agus Yulianto*

REPUBLIKA.CO.ID, Entah sampai kapan wabah yang satu ini akan hilang atau lenyap dari muka bumi Indonesia dan juga negara-negara terpapar lainnya. Dia seakan 'betah' untuk berlama-lama membuat 'makar' terhadap massa yang tak patuh pada aturan protokol kesehatan.

Ya, dia adalah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Covid-19 adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Hingga kini virus corona Covid-19 masih terus menyebar di seluruh dunia. Jumlah kasusnya pun terus bertambah.

Meski jumlah pasien sembuh juga semakin tinggi, tapi kita tetap tidak boleh meremehkan keberadaan virus ini. Jika tidak, bisa Anda bayangkan sendiri dampaknya. Ratusan ribu manusia akhirnya harus meregang nyawa. Tak hanya masyarakat biasa, kalangan tenaga kesehatan pun ikut menjadi korban.

Maka genderang 'perang' pun ditabuh. Berbagai cara dilakukan agar penyebaran virus Covid-19 ini bisa ditekan.

Selain membuat vaksin dan obat guna menyembukan pasien dari virus ini, maka penggunaan masker dan penerapan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sampai menjaga jarak pun wajib dilakukan untuk mencegah penularan virus corona.

Sejumlah daerah di Indonesia juga sudah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus rantai penyebaran virus corona. Hanya saja, pemerintah terlihat kurang serius menangani kasus ini, sehingga sejak kemunculannya, virus ini tak pernah lenyap.

Aturan dibuat, tapi aturan itu pun dilanggar. Siapa yang membuat dan siapa yang melanggar, bila dilihat dari kondisi yang ada sekarang ini. Silakan Anda menilainya sendiri.

Yang jelas, kedua belah pihak belum peduli dengan kesehatan. Bahkan, terkesan untuk saling 'serang' seperti masifnya virus Covid-19 yang menghantam manusia.

Pemerintah getol membuat aturan mulai dari PSBB, PSBB transisi hingga AKB. Tujuannya, baik. Bahkan, bisa mengerem penyebaran virus Covid-19.

Namun, sayangnya, ketika kondisi serangan virus ini mulai melandai, banyak warga yang kemudian abai atas penularan virus tersebut. Ini yang membuat angka kasus kembali naik.

Tak pelak, angka kasus terpapar virus Covid-19 di Tanah Air ini terus berfluktuasi. Edukasi harus terus menerus dilakukan. Pemerintah tak boleh abai dengan dampak yang bisa ditimbulkan dari virus Covid-19 yang belum ada obatnya sampai saat ini.

Mencegah kerumunan massa yang berpotensi menjadi klaster baru Covid-19, harus menjadi perhatian pemerintah dan pihak-pihak terkait. Apalagi, Indonesia saat ini, tengah menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 secara serentak.

Apalagi, pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2020 mendatang, ada sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi (Gubernur), 37 Kota (Wali Kota) dan 224 Kabupaten (Bupati). Bisa dibayangkan, betapa banyak kerumunan massa yang terjadi pada massa pilkada itu. Mulai dari pasangan calon mendaftarkan diri, kampanye paslon hingga hari pencoblosan.

Penumpukan manusia pasti terjadi di satu tempat. Contohnya, pada saat kampanye salah satu paslon dalam pilkada Solo. Ribuan massa berkerumun. Dan ini jelas menjadi khawatiran banyak pihak, bahwa ajang pilkada itu akan menjadi klaster baru penulran virus Covid-19.

Teranyar dari kerumunan massa adalah terkait dengan kedatangan Imam Besar Habib Rizieq Shibab (HRS) pada 10 November lalu, yang dilanjutkan beberapa hari kemudian dengan acara Maulid Nabi Muhammad SAW, serta akad nikah puteri HRS.

Pada momen tersebut, ribuan massa menyambangi HRS. Meski sudah meminta massa untuk menerapkan protokol kesehatan guna mencegak penularan Covid-19, tak urung banyak di antaranya yang tak menghiraukannya.

Adanya kerumunan massa di ibu kota negara ini, membuat Presiden Jokowi mulai menunjukkan ketegasan dan terlihat 'marah'. Jokowi mengingatkan perjuangan dan pengorbanan para tenaga kesehatan yang berbulan-bulan merawat pasien Covid-19.

"Jangan sampai yang telah dikerjakan oleh para dokter, perawat, tenaga medis, paramedis menjadi sia-sia karena pemerintah tidak bertindak tegas untuk sesuatu kegiatan yang bertentangan dengan protokol kesehatan dan peraturan-peraturan yang ada," ujar Jokowi dalam rapat terbatas, Senin (16/10).

Maka, Jokowi pun meminta aparat keamanan baik Polri maupun TNI menindak tegas pelanggar protokol kesehatan. Dia menekankan bahwa keselamatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19 saat ini merupakan hukum tertinggi.

Teguran Jokowi ini pun berdampak pada pencopotan dua kapolda yakni Kapolda DKI Jakarta dan Kapolda Jabar. Tak hanya itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Bawesdan pun turut menjadi pihak yang dimintai keterangannya oleh Polri terkait keramaian di kediaman HRS tersebut. Belakangan, Gubernur Jabar Ridwan Kamil pun turut juga dipanggil Polri, Jumat (20/11) besok.

Berbagai tanggapan atas pencopotan dan pemanggilan Gubernur dan pejabat lainnya pun bermunculan. Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun mengkritisi pihak kepolisian yang menyebutkan kemungkinan pidana pada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan atas protokol kesehatan. Hal ini, dia nilai, tidak tepat. Bahkan, bila dipaksakan, Refly menyebut, Presiden RI Joko Widodo alias Jokowi pun bisa dipidana.

Refly justru lebih setuju bila kepada Anies Baswedan diterapkan aturan administratif sebagaimana dimungkinkan peraturan perundang-undangan oleh pemerintah pusat atau nasional. Karenanya, dia berharap, jangan sampai pemerintah dan kepala daerah yang dipilih secara demokratis bisa dijauhkan oleh mekanisme-mekanisme yang justru di luar demokrasi itu sendiri.

Semoga, hal-hal yang berkaitan dengan kerumunan massa ini bisa dicarikan solusi terbaiknya. Tidak dengan emosi, tidak dengan tindakan yang berlebihan, tetapi dengan lebih mengedepankan sikap bijak dan santun. Mari perangi Covid-19 ini bersama-sama untuk menciptakan masyarakat yang sehat.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement