Kamis 19 Nov 2020 16:37 WIB

Demonstran Anti-Lockdown Jerman Kritik UU Perlindungan Infeksi Seperti Kediktatoran Nazi

UU Perlindungan Infeksi dibandingka dengan UU yang buka jalan kediktatoran Hitler.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Fabrizio Bensch/REUTERS
Fabrizio Bensch/REUTERS

Ribuan orang berunjuk rasa pada Rabu (18/11) menentang Undang-Undang Perlindungan Infeksi baru yang diusulkan pemerintahan Kanselir Angela Merkel. UU ini dimaksudkan untuk memudahkan pemerintah dengan cepat menerapkan langkah-langkah lockdown dalam perang melawan pandemi virus corona.

"Ini adalah hari yang sangat tidak biasa," kata anggota parlemen dari Partai Sosial Demokrat, Helge Lindh, saat ia menuju gedung parlemen (Bundestag) Jerman, Rabu (18/11) pagi.

Ratusan pengunjuk rasa tetap berkumpul di luar gedung parlemen, meskipun ada larangan protes. Beberapa pengunjuk rasa bahkan mencoba memblokir akses ke gedung, sebelum protes dibubarkan oleh polisi.

"Tentu boleh berdemonstrasi dan mengkritik," kata Lindh kepada DW melalui telepon. "Tetapi tidak dapat ditoleransi bila menyamakan Undang-undang Perlindungan Infeksi dengan awal kediktatoran Nazi, dengan Undang-undang Pengaktifan tahun 1933,” tambahnya.

Beberapa pengunjuk rasa, serta kelompok sayap kanan Partai Alternatif untuk Jerman (AfD), berulang kali menggambarkan analogi ini. Mereka mengklaim UU baru itu akan memberi pemerintah kekuasaan diktator, yang serupa dengan peristiwa pada 1933. "Ini adalah kebutaan terhadap pelajaran sejarah," lanjut Lindh.

'Analogi itu tidak masuk akal'

Pada tanggal 23 Maret 1933, Adolf Hitler mengajukan ke parlemen sebuah "Undang-undang untuk Memperbaiki Kesulitan Rakyat dan Reich", yang dikenal sebagai "Undang-Undang Pengaktifan."

UU ini mengubah konstitusi, memberikan kekuasaan legislatif kepada pemerintah: "UU Reich juga dapat diberlakukan oleh pemerintah Reich… UU yang diberlakukan oleh pemerintah Reich mungkin menyimpang dari konstitusi…"

UU tersebut melewati dua tingkatan dewan parlemen dan memberi Hitler serta partai Sosialis Nasionalnya kekuasaan absolut atas negara Jerman.

"Parlementerisme mati setelahnya," kata Andreas Wirsching, Direktur Institut Sejarah Kontemporer di München, kepada DW. "Itu adalah penghapusan diri parlemen. Dan sebagian besar anggota parlemen menyadari hal itu ketika mereka menyetujui UU tersebut,” tambahnya.

Hampir 100 anggota parlemen komunis dipenjara, bersembunyi, atau telah melarikan diri dari Jerman ketika Reichstag bersidang untuk mengesahkan "UU Pengaktifan."

Pasukan paramiliter Nazi ditempatkan di pintu masuk parlemen, memberikan tekanan pada anggota parlemen yang tersisa.

Sehingga, membandingkan UU Perlindungan Infeksi yang diusulkan pemerintahan Merkel dengan UU Pengaktifan adalah "murni demagogi," kata Wirsching. "UU Pengaktifan punya satu tujuan: kediktatoran. Itulah mengapa analoginya tidak masuk akal,” tambahnya.

Berkaca dari preseden 1923

Namun, UU Perlindungan Infeksi saat ini memang mengalihkan sebagian kekuasaan legislatif dari parlemen ke eksekutif, yakni pemerintah. UU Perlindungan Infeksi sekarang akan menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk membatasi beberapa hak fundamental warga yang diabadikan dalam konstitusi Jerman, dalam upaya memerangi pandemi.

Ini bukan urusan sepele, Wirsching mengakui. Dia mengatakan bahwa pada tahun 1923, Jerman sedang menghadapi krisis mata uang, hiperinflasi dengan dampak ekonomi dan sosial yang parah. Reichstag kemudian mengesahkan "UU Pengaktifan" yang memungkinkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah keuangan, ekonomi, dan sosial. Tujuannya adalah untuk memulihkan stabilitas dan menjaga demokrasi.

"Tetapi banyak peneliti saat ini mengkritik ‘UU Pengaktifan' tahun 1923, karena Reichstag menyerahkan tanggung jawab keseluruhan," kata Wirsching. Dan sepuluh tahun kemudian, itu menjadi preseden untuk "UU Pengaktifan" yang didesak oleh Nazi.

Gelombang protes meluas

Pada tahun 1933, anggota parlemen Partai Sosial Demokrat adalah satu-satunya yang tersisa di parlemen untuk memberikan suara menentang "UU Pengaktifan". Beberapa dari mereka kemudian dianiaya atau ditangkap.

"Itulah sebabnya, sebagai seorang dari Partai Sosial Demokrat, sangat pahit bagi saya mendengar perbandingan dulu dengan sekarang ini," kata anggota parlemen Lindh.

Dia masih berharap bahwa dialog dengan pemrotes lockdown bisa terjadi. Dia menekankan bahwa lewat UU baru ini, kekuasaan pemerintah dalam memerangi pandemi tetap ada batasnya: Semua keputusan pemerintah hanya dapat bersifat sementara dan berakhir setelah empat minggu.

Tapi gerakan menentang lockdown tampaknya semakin besar. Menurut survei oleh perusahaan jajak pendapat Allensbach, persentase orang Jerman yang kritis terhadap kebijakan anti-virus corona oleh pemerintah telah meningkat dari 15 menjadi 28% selama tiga bulan terakhir. (pkp/ha)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement