Rabu 18 Nov 2020 13:35 WIB

Facebook dan Twitter Gagal Bendung Penyebaran Info Palsu

Facebook dan Twitter disebut gagal hentikan penyebaran info palsu terkait pemilu AS

Rep: Puti Almas/ Red: Christiyaningsih
Facebook (ilustrasi)
Facebook (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Jejaring media sosial Twitter dan Facebook dilaporkan gagal menghentikan penyebaran informasi palsu, meski sebelumnya menandai sejumlah unggahan yang mengandung informasi menyesatkan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kedua perusahaan menggunakan label pengecekan fakta dan data menunjukkan hasil ini.

Kebanyakan dari informasi palsu yang disebarkan adalah saat Trump yang menjadi kandidat pejawat dalam pemilihan presiden AS tahun ini menolak kekalahan dari rivalnya yang merupakan calon dari Partai Demokrat Joe Biden. Label pengecekan fakta telah digunakan sebagai strategi lebih luas dalam membatasi penyebaran berita palsu.

Baca Juga

Namun, dilansir Stuff, Twitter mengatakan secara keseluruhan upaya tersebut hanya menghasilkan pengurangan 29 persen dalam fitur “quote Tweet" atau berbagi unggahan yang menampilkan komentar pengguna sendiri dari cicitan yang telah diberi label dengan peringatan pengecekan fakta. Di papan pesan internal, seorang ilmuwan data Facebook mengatakan peringatan bahwa unggahan mungkin menyertakan klaim menyesatkan atau salah telah mengurangi penyebarannya hanya hingga delapan persen.

Sebelumnya, CEO Facebook Mark Zuckerberg dan CEO Twitter Jack Dorsey telah dituduh mengambil sikap editorial terhadap tuduhan penipuan pemilih oleh politisi Partai Republik. Masing-masing perusahaan telah diduga berulang kali tidak bertindak sebagai perusahaan komunikasi dalam sidang komite kehakiman.

Namun, Dorsey bersikeras mereka hanya memberlakukan persyaratan layanan Twitter sebagai distributor informasi. Mark Zuckerberg juga menolak klaim Facebook telah bertindak seperti media yang dikelola pemerintah dengan mengatakan tidak pernah membuat atau memilih konten yang diunggah oleh penggunanya.

Trump telah menggunakan akun Facebook dan Twitter untuk mengeklaim pemilu AS dicurangi dan menampilkan penipuan pemilih besar-besaran. Namun, pria berusia 74 tahun itu belum menyertakan bukti atas tuduhan ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement