Selasa 17 Nov 2020 13:24 WIB

Uni Eropa Hentikan Penyelidikan Antisubsidi Produk Baja RI

Dengan penghentian ini maka produk HRSS Indonesia bebas dari antisubsidi Uni Eropa.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Seorang pekerja mengecek baja lembaran di pabrik Hot Strip Mill PT Krakatau Steel. Uni Eropa resmi menghentikan penyelidikan antisubsidi terhadap hot rolled stainless steel (HRSS) Indonesia.
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Ilustrasi Seorang pekerja mengecek baja lembaran di pabrik Hot Strip Mill PT Krakatau Steel. Uni Eropa resmi menghentikan penyelidikan antisubsidi terhadap hot rolled stainless steel (HRSS) Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uni Eropa resmi menghentikan penyelidikan antisubsidi terhadap hot rolled stainless steel (HRSS) Indonesia. Keputusan ini ditetapkan pada 6 November 2020 dan diumumkan secara resmi di situs web Pemerintah Uni Eropa pada 9 November 2020. 

Dengan demikian, produk HRSS Indonesia lolos dari ancaman tindakan antisubsidi Uni Eropa. Keputusan ini dibuat setelah Asosiasi Industri Baja Uni Eropa (EUROFER) mencabut permohonannya pada 18 September 2020 lalu.

Baca Juga

“Indonesia menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk membatalkan penyelidikan. Sebab dari awal kami meyakini produk Indonesia selalu bersaing secara adil di pasar Eropa,” ujar Menteri Perdagangan Agus Suparmanto melaluin siaran pers, Selasa (17/11).

Pembatalan penyelidikan ini, lanjutnya, membuka peluang guna terus mendorong ekspor HRSS ke Uni Eropa. “Kami akan mendorong industri Indonesia memanfaatkan pembatalan ini dengan cara meningkatkan kinerja ekspor produk HRSS ke Uni Eropa serta secara proaktif menjaga akses ekspornya,” kata dia. 

Sebagai informasi, HRSS merupakan produk baja yang dihasilkan dari penggilingan baja nirkarat dalam keadaan panas. Ekspor produk HRSS Indonesia ke Uni Eropa dimulai pada 2018 dengan nilai 99,3 juta dolar AS. Pada 2019, nilai ekspornya meningkat menjadi 100,5 juta dolar AS. 

Pada Oktober 2019, Pemerintah Uni Eropa secara resmi memulai penyelidikan antisubsidi terhadap produk HRSS asal Indonesia berdasarkan permohonan EUROFER. Uni Eropa menuduh Pemerintah Indonesia memberikan insentif atau bantuan finansial bagi produsen melalui serangkaian kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan baku mineral, yaitu bijih nikel, batu bara, dan scrap logam, sehingga menekan harga bahan baku tersebut di Indonesia. 

Uni Eropa juga menduga adanya dukungan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China (RRC) terhadap pembangunan kawasan industri di Morowali serta industri mineral dan logam di lokasi tersebut melalui kerja sama ekonomi bilateral Indonesia-RRC. Menanggapi itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi menegaskan, Kemendag pun membantah tuduhan Uni Eropa tersebut. 

“Kami menilai semua tuduhan Uni Eropa tidak berdasar sejak awal penyelidikan. Kemendag didukung kementerian dan lembaga terkait melakukan pembelaan terhadap kebijakan yang diklaim Uni Eropa sebagai subsidi,” tegas Didi.

Uni Eropa menganggap kebijakan RI melarang ekspor bijih nikel kadar 1,7 persen ke atas menguntungkan industri stainless steel Indonesia yang mempergunakannya sebagai bahan baku. Ia menyatakan, ketentuan tersebut tidak secara khusus diarahkan untuk menguntungkan industri stainless steel.

“Ketentuan tersebut secara jelas dimaksudkan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya mineral Indonesia yang berkelanjutan. Mengingat sifat bahan bakunya yang tidak dapat diperbaharui, dan demi mendorong pertumbuhan investasi industri bernilai tambah di Indonesia," jelas dia. 

Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menambahkan, pemerintah Indonesia secara aktif memanfaatkan semua kesempatan yang ada guna menyampaikan pembelaan. “Kami menyampaikan klarifikasi secara tertulis kepada Uni Eropa atas kebijakan Pemerintah Indonesia yang dituduh sebagai subsidi, secara langsung dalam konsultasi dengan Pemerintah Uni Eropa di Brussels, serta secara daring dari Jakarta dalam kesempatan verifikasi,” jelas dia.

Upaya tersebut, kata dia, memberikan hasil terbaik yaitu penghentian penyelidikan. “Kami terus menekan Pemerintah Uni Eropa agar segera membatalkan penyelidikan. Tanpa diduga, pembatalan penyelidikan justru datang dari pihak EUROFER yang menarik sendiri petisi mereka. Kami sangat yakin, baik EUROFER maupun Uni Eropa tidak menemukan unsur subsidi pada keseluruhan klaim mereka hingga akhirnya EUROFER menarik tuduhan tersebut,” jelas Pradnyawati.

Sementara, tren peningkatan ekspor produk HRSS Indonesia tidak hanya terjadi ke Uni Eropa, melainkan juga ke seluruh penjuru dunia. Menurut data Badan Pusat Statistik, ekspor produk HRSS Indonesia ke seluruh dunia pada 2019 mencapai 2,6 miliar dolar AS. 

Sebelumnya pada 2018 dan 2017 ekspor ke seluruh dunia hanya mencatatkan nilai masing-masing sebesar 2 miliar dolar AS dan 483 juta dolar AS. Kemendag menilai, peningkatan ekspor produk HRSS ini sekaligus menunjukkan potensi Indonesia sebagai salah satu eksportir utama HRSS di dunia saat ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement