Selasa 17 Nov 2020 07:09 WIB

Ekonomi Jepang Mulai Bangkit dari Resesi

Meski membaik, ekonomi Jepang masih turun untuk tahun fiskal yang berakhir Maret 2021

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
 Para pejalan kaki tercermin dalam papan indikator pasar saham di Tokyo, Jepang, 09 November 2020. Perekonomian Jepang mulai bangkit kembali dari situasi resesi  dengan pertumbuhan mencaapai 5 persen pada kuartal III 2020. Ekonomi Jepang sempat menyusut sejak awal 2020 lantaran dampak dari kebijakan lockdown yang menghantam permintaan sektor industri manufaktur dan permintaan konsumen.
Foto: EPA-EFE/FRANCK ROBICHON
Para pejalan kaki tercermin dalam papan indikator pasar saham di Tokyo, Jepang, 09 November 2020. Perekonomian Jepang mulai bangkit kembali dari situasi resesi dengan pertumbuhan mencaapai 5 persen pada kuartal III 2020. Ekonomi Jepang sempat menyusut sejak awal 2020 lantaran dampak dari kebijakan lockdown yang menghantam permintaan sektor industri manufaktur dan permintaan konsumen.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perekonomian Jepang mulai bangkit kembali dari situasi resesi  dengan pertumbuhan mencaapai 5 persen pada kuartal III 2020. Ekonomi Jepang sempat menyusut sejak awal 2020 lantaran dampak dari kebijakan lockdown yang menghantam permintaan sektor industri manufaktur dan permintaan konsumen.

Dilansir BBC, Selasa (17/11),  ekonomi terbesar ketiga di dunia itu sekarang menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meskipun beberapa analis memperingatkan bahwa pertumbuhan lebih lanjut kemungkinan besar akan moderat.

Baca Juga

Ekonomi kawasan Asia memimpin jalan untuk pemulihan ekonomi global, yang oleh beberapa ahli disebut sebagai "ledakan zoom". Ini mengacu pada peningkatan permintaan produk layar dan laptop karena lebih banyak orang bekerja dari rumah, dan menggunakan platform rapat online seperti Zoom.

Sebagai catatan, Asia adalah salah satu produsen terbesar laptop, peralatan komunikasi, dan elektronik lainnya.

Kawasan Asia juga akan mendapat dorongan setelah menandatangani kesepakatan mega perdagangan yang disepakati akhir pekan lalu, yang disebut Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Penandatangan lainnya termasuk China, Korea Selatan, Australia dan Singapura.

Peningkatan permintaan domestik serta ekspor telah membantu mendorong pertumbuhan ekonomi di Jepang. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal III Jepang sebesar 5 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, yang melihat ekonominya menyusut 8,2 persen.

Perubahan haluan ini adalah laju tercepat dalam catatan pertumbuhan ekonomi Jepang. Pada tingkat tahunan, dengan asumsi pertumbuhan ini berlanjut selama 12 bulan, itu mewakili ekspansi sebesar 21,4 persen.

PDB untuk kuartal kedua, yang mencakup April hingga Juni, adalah angka terburuk Jepang sejak data tersedia pada tahun 1980, lebih buruk daripada krisis keuangan global 2008.

Pemulihan tersebut merupakan kabar baik bagi pemerintah Jepang yang telah menghindari tindakan lockdown yang keras seperti yang terlihat di beberapa negara lain.

Ekonomi global secara keseluruhan diperkirakan akan berkontraksi sebesar 4,4 persen tahun ini, sementara AS akan menyusut sebesar 4,3 persen, menurut Dana Moneter Internasional (IMF).

Namun, ekonomi Asia memimpin dalam hal menunjukkan tanda-tanda pemulihan. China tetap berada di jalur untuk tumbuh sekitar 2 persen tahun ini, terbesar dari ekonomi utama mana pun di dunia.

"Kami menyebutnya ledakan zoom," kata Rory Green, ekonom di perusahaan riset TS Lombard.

Pada Senin (16/11) kemarin, China juga merilis data ekonomi baru yang menunjukkan produksi pabriknya tumbuh 6,9 persen pada Oktober, dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu.

Awal tahun ini, Jepang meluncurkan dua paket stimulus senilai 2,2 triliun dolar AS, termasuk pembayaran tunai untuk rumah tangga dan pinjaman usaha kecil. Perdana Menteri Yoshihide Suga, yang mengambil alih pada bulan September, juga telah menginstruksikan kabinetnya untuk membuat paket lain untuk meningkatkan ekonomi yang dilanda pandemi Jepang.

Terlepas dari pertumbuhan kuartalan terbaru ini, ekonomi Jepang diperkirakan masih menyusut sebesar 5,6 persen untuk tahun fiskal penuhnya, yang berakhir pada Maret 2021.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement