Senin 16 Nov 2020 20:31 WIB

WHO Setujui Izin Darurat Vaksin Polio Bio Farma

WHO menyebut daftar penggunaan darurat ini yang pertama dari jenisnya.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Fuji Pratiwi
Seorang anak sedang diberikan vaksin polio di Pakistan (ilustrasi). Sifat kedaruratan membuat WHO mengeluarkan izin penggunan darurat vaksin polio, termasuk produksi Bio Farma Indonesia. Bio Farma terlibat dalam produksi vaksin nOPV2 merupakan anti virus polio jenis baru (cVDPVs) yang dikembangkan oleh jaringan kerja sama global lintas lembaga dan ahli dari berbagai negara, Inisiatif Global untuk Menghapus Polio (GPEI).
Foto: EPA
Seorang anak sedang diberikan vaksin polio di Pakistan (ilustrasi). Sifat kedaruratan membuat WHO mengeluarkan izin penggunan darurat vaksin polio, termasuk produksi Bio Farma Indonesia. Bio Farma terlibat dalam produksi vaksin nOPV2 merupakan anti virus polio jenis baru (cVDPVs) yang dikembangkan oleh jaringan kerja sama global lintas lembaga dan ahli dari berbagai negara, Inisiatif Global untuk Menghapus Polio (GPEI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bio Farma (Persero) telah mendapatkan Emergency Use Listing(UEL) atau izin penggunaan darurat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk vaksin polio nOPV2 pada Jumat (13/11). Hal ini merupakan EUL pertama yang pernah diberikan oleh WHO untuk vaksin dan diyakini akan meningkatkan citra BUMN Indonesia di tataran Industri kesehatan dunia.

"WHO telah mendaftarkan vaksin nOPV2  (Bio Farma, Indonesia) untuk penggunaan darurat guna mengatasi meningkatnya kasus strain polio di sejumlah negara Afrika dan Mediterania Timur. Negara-negara di wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara juga terkena dampak wabah ini," ungkap WHO lewat keterangan resmi pada Sabtu (14/11).

Baca Juga

WHO menyebut daftar penggunaan darurat ini yang pertama dari jenisnya untuk vaksin dan membuka jalan untuk diterapkan pada calon vaksin Covid-19.

WHO menyampaikan dunia telah membuat kemajuan luar biasa menuju pemberantasan polio, mengurang kasus polio hingga 99,9 persen dalam 30 tahun terakhir. Kendati begitu, upaya tersebut belum dapat mencapai akhir karena virus polio cVDPVs masih kerap tersebar di populasi yang jarang mendapatkan akses imunisasi.

WHO mengatakan vaksin nOPV2 merupakan anti virus polio jenis baru (cVDPVs) yang dikembangkan oleh jaringan kerja sama global lintas lembaga dan ahli dari berbagai negara, Inisiatif Global untuk Menghapus Polio (GPEI).

Jaringan kerja sama itu diikuti Bio Farma, BUMN yang memproduksi vaksin di Indonesia; University of Antwerp di Belgia; organisasi non pemerintah Lawan Penyakit Menular di Negara Berkembang (FIDEC); Institut Nasional untuk Standar Biologi dan Kontrol (NIBSC) di Inggris; University of California San Francisco (UCSF), Amerika Serikat; Pusat Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit (CDC), AS; dan berbagai lembaga swadaya lainnya seperti PATH dan Bill & Melinda Gates Foundation.

Prosedur EUL menilai kesesuaian produk kesehatan yang belum memiliki lisensi selama keadaan darurat kesehatan masyarakat, seperti polio dan Covid-19. Tujuannya agar obat-obatan, vaksin dan diagnostik ini tersedia lebih cepat untuk mengatasi keadaan darurat. Penilaian tersebut pada dasarnya mempertimbangkan ancaman yang ditimbulkan oleh keadaan darurat terhadap manfaat yang akan diperoleh dari penggunaan produk berdasarkan bukti yang kuat.

"Prosedur tersebut diperkenalkan selama wabah Ebola Afrika Barat pada 2014-2016, ketika beberapa diagnostik Ebola menerima daftar penggunaan darurat," lanjut WHO.

Jalur EUL melibatkan penilaian yang ketat terhadap data uji klinis fase II dan fase III serta data tambahan yang substansial tentang keamanan, kemanjuran, dan kualitas produksi. Data ini ditinjau para ahli independen yang mempertimbangkan bukti terkini tentang vaksin yang sedang dipertimbangkan, rencana pemantauan penggunaannya, dan rencana studi lebih lanjut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement