Senin 16 Nov 2020 04:17 WIB

Sertifikasi CHSE Pariwisata Jangkau 5.778 Pelaku Usaha

Kemenparekraf menargetkan 8.000 pelaku usaha dapat tersertifikasi pada tahun ini.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung menikmati pemandangan dari puncak saat berwisata di Bukit Satu Pohon di Desa Sibedi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (15/11). Sertifikasi Kebersihan, Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan (CHSE) untuk sektor pariwisata telah menjangkau 5.778 pelaku usaha yang tersebar di 294 daerah.
Foto: Antara/Basri Marzuki
Pengunjung menikmati pemandangan dari puncak saat berwisata di Bukit Satu Pohon di Desa Sibedi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Ahad (15/11). Sertifikasi Kebersihan, Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan (CHSE) untuk sektor pariwisata telah menjangkau 5.778 pelaku usaha yang tersebar di 294 daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sertifikasi Kebersihan, Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan (CHSE) untuk sektor pariwisata telah menjangkau 5.778 pelaku usaha yang tersebar di 294 daerah. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menargetkan 8.000 pelaku usaha dapat tersertifikasi pada tahun ini.

Juru Bicara Kemenparekraf, Prabu Revolusi, mengatakan, terdapat sejumlah tahapan untuk bisa mendapatkan Sertifikat CHSE. Dari mulai pendaftaran, penerapan protokol secara mandiri dan pelaporan, lalu peninjauan oleh tim sertifikasi. Mereka yang dapat disertifikasi juga akan dipilihan sesuai prioritas pemerintah.

Baca Juga

"Sejauh ini tanggapan dari pelaku usaha sangat positif karena pertama kalinya ada standar pariwisata sehingga kita bisa sekaligus berbenah," kata Prabu kepada Republika.co.id, Ahad (15/11).

Ia menegaskan, sertifikasi CHSE yang disusun berpatokan pada protokol kesehatan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pihaknya juga menggandeng Kemenkes dalam proses sertifikasi. Adapun setiap pelaku usaha digratiskan dalam mengikuti sertifikasi.

Melihat adanya antusiasme pelaku usaha, Prabu mengatakan Kemenparekraf optimistis target tahun ini bisa tercapai dengan menjangkau 8.000 pelaku usaha. Program sertifikasi itu juga dipastikan akan dilanjutkan pada tahun depan. Menurut dia, sertifikasi itu sekaligus menjadi program jangka panjang pemerintah karena bermanfaat untuk membenahi potret pariwisata nasional.

Oleh karena itu, formulasi dalam proses sertifikasi bisa jadi berubah. Hal itu bergantung pada situasi pandemi Covid-19 di tahun depan. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di tahun depan, bisa saja sudah ada vaksin, atau pandemi selesai, jadi akan ada protokol yang baru," kata dia.

Prabu mengatakan, apapun situasi yang terjadi, industri pariwisata di tengah tantangan yang berat tentu terus didorong untuk menjaga kebersihan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan sekitar. Hal itu nantinya akan menjadi standar baru bagi pariwisata Indonesia demi meningkatkan daya saing antar negara.

Aktivis Pariwisata Indonesia sekaligus Founder Temannya Wisatawan, Taufan Rahmadi, menilai, sertifikasi CHSE bahkan perlu diwajibkan. Pasalnya, sertifikasi dapat menjadi standar pelayanan bagi para konsumen.

"Banyak negara yang jauh lebih tegas dan tertib di masa new normal. Kita tidak bisa main-main dengan standar pelayanan," kata Taufan.

Ia mengatakan, sertifikasi menjadi standardisasi dan acuan dari apa yang harus dilakukan pelaku pariwisata. "Kualitas produk, layanan, itu harus dapatkan penilaian dan pengakuan agar para wisatawan menjadi tenang," ujarnya menambahkan.

Taufan mengatakan, manfaat utama yang diperoleh dari adanya sertifikasi yakni pengakuan terhadap pelaku industri terkait secara resmi. Terutama pengakuan bahwa industri terkait sudah punya kualitas dalam menjalankan standardisasi pelayanan ke wisatawan. Hal itu nantinya akan berdampak pada persepsi wisatawan baik asing maupun domestik.

"Ini untuk menghadirkan rasa tenang kepada wisatawan ketika mereka berkunjung tentu ini akan sangat efektif," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement