Senin 16 Nov 2020 03:23 WIB

Sudah Ditandatangani, Mendag Ungkap Kendala Perjanjian RCEP

Salah satu kendala yang dihadapi ialah tingkat kesiapan ekonomi negara peserta.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
Gambar yang diambil dari telekonferensi yang ditayangkan Kantor Berita Vietnam (VNA) menunjukan pemimpin dan menteri perdagangan dari 15 negara berpose usai menandatangani pakta kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Ahad (15/11). Sepuluh negara ASEAN ditambah lima negara Asia lain seperti China dan Jepang sepakat untuk membentuk blok perdagangan terbesar di dunia. Kesepakatan ini diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi akibat guncangan pandemi.
Foto: VNA via AP
Gambar yang diambil dari telekonferensi yang ditayangkan Kantor Berita Vietnam (VNA) menunjukan pemimpin dan menteri perdagangan dari 15 negara berpose usai menandatangani pakta kerja sama Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Ahad (15/11). Sepuluh negara ASEAN ditambah lima negara Asia lain seperti China dan Jepang sepakat untuk membentuk blok perdagangan terbesar di dunia. Kesepakatan ini diharapkan mempercepat pemulihan ekonomi akibat guncangan pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) telah resmi ditandatangani oleh beberapa negara termasuk Indonesia pada hari ini, Ahad (15/11). Ini menandai selesainya perundingan yang dimulai pada Mei 2013 tersebut. 

Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan, perundingan itu menghadapi berbagai kendala. Di antaranya perbedaan tingkat kesiapan ekonomi negara peserta RCEP.

"Ini memberikan tantangan tersendiri karena ambisi dan sensitivitas yang berbeda antara negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang membuat perundingan sering memanas. Dalam situasi seperti itu, dituntut pemahaman isu secara mendalam, penguasaan seni berunding secara plurilateral, kesabaran, dan bahkan sense of humor dari Ketua TNC (Trade Negotiating Committee) yang akhirnya mampu mempertahankan jalannya perundingan secara produktif," jelas dia melalui keterangan resmi, Ahad (15/11).

Ia mengungkapkan, selama lebih dari delapan tahun berunding, tidak satu kali pun ada negara yang melakukan walk out. Agus menuturkan, perjanjian RCEP dapat dikatakan sangat komprehensif, meskipun tidak selengkap dan sedalam perjanjian regional lainnya, seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CP-TPP). 

Namun, kata dia, dalam merespons dampak ekonomi dari Covid-19, seorang pengamat ekonomi dari Hinrich Foundation Stephen Olson menyatakan, dalam beberapa tahun ke depan rantai nilai akan cenderung lebih pendek, memanfaatkan kedekatan geografis, dan menghindari rantai nilai lintas samudra. Dalam konteks ini, RCEP secara geografis menyatukan Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru akan lebih cepat tumbuh serta menguat dibandingkan CP-TPP atau Perjanjian Trans-Atlantik yang sementara ini dihentikan perundingannya.

Agus menegaskan, RCEP akan mendorong Indonesia lebih jauh ke dalam rantai pasok global dengan memanfaatkan backward linkage, yakni memenuhi kebutuhan bahan baku atau bahan penolong yang lebih kompetitif dari negara RCEP lainnya. Lalu forward linkage, yakni memasok bahan baku atau bahan penolong ke negara RCEP lainnya.

Dirinya yakin hal tersebut akan mengubah RCEP menjadi sebuah regional power house. “Indonesia harus memanfaatkan arah perkembangan ini dengan segera memperbaiki iklim investasi, mewujudkan kemudahan lalu lintas barang dan jasa, meningkatkan daya saing infrastruktur dan suprastruktur ekonomi, dan terus mengamati serta merespons tren konsumen dunia,” jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement