Ahad 15 Nov 2020 13:01 WIB

Islamic Worldview dalam Pembangunan Politik Hukum Keluarga

Feminisme menganggap hubungan laki-laki dan perempuan selalu memiliki relasi kuasa.

Vina Berliana Kimberly
Foto: dokpri
Vina Berliana Kimberly

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Vina Berliana Kimberly*

Sekalipun sudah dikeluarkan dari Prolegnas 2020, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) tetap menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Pihak pendukung RUU P-KS menghendaki RUU ini dapat masuk ke dalam prolegnas tahun depan agar dapat segera disahkan sedangkan pihak kontra menghendaki yang sebaliknya. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mengapa setiap peraturan di Indonesia yang memiliki dampak pada ranah rumah tangga atau keluarga kerap menjadi polemik yang menimbulkan perdebatan di masyarakat? 

Jika ditinjau dari arah pembangunan politik hukum nasional, sebuah pembangunan politik hukum dapat dilihat melalui tiga aspek yaitu aspek filosofis, aspek yuridis, dan aspek sosiologis. Ketiga aspek tersebut akan dituangkan dalam naskah akademik yang menjadi dasar pembentukan undang-undang. 

Akan tetapi, bagaimana ketiga aspek tersebut diterapkan, bergantung pada pendekatan cara pandang yang digunakan oleh pembentuk undang-undang. Cara pandang ini penting dalam pembangunan politik hukum karena objek kajian politik hukum menitikberatkan pada latar belakang terbentuknya sebuah gagasan dalam sebuah peraturan. 

Berdasarkan sila pertama Pancasila, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang sekuler. Nilai dalam sila pertama ini terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia yang tidak memisahkan antara sesuatu yang tampak (empiris) dan sesuatu yang tidak tampak (metafisis). 

Salah satu golongan yang sangat kuat meyakini cara pandang semacam ini adalah umat Islam. Hal ini dikarenakan umat Islam memiliki keyakinan bahwa beragama bukan hanya tentang ritual kepada Tuhan tetapi secara keseluruhan dalam semua aspek kehidupan. Cara pandang umat Islam tersebut sering disebut dengan "Islamic Worldview".

Menurut Naquib Al-Attas (1996), Islamic Worldview adalah visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran yang berperan sebagai asas yang tidak tampak (non-observable) bagi semua perilaku manusia, termasuk aktivitas ilmiah dan teknologi. Definisi ini menunjukkan bahwa dalam berintelektual pun umat Islam memiliki caranya sendiri untuk mendekati sebuah fenomena. 

Sebagai contoh untuk memudahkan pemahaman tentang pendekatan Islamic Worldview, misalnya ada seorang Muslim dihadapkan dengan roti berisi daging asap di dalamnya. Orang Islam tidak hanya memandang itu sebagai sebuah makanan yang lezat tetapi lebih luas dari itu. 

Dia akan mempertanyakan apakah daging asap tersebut adalah daging yang halal? Apakah roti tersebut diproduksi dengan cara yang halal? dan apakah roti tersebut diperoleh dengan cara yang halal? 

Orang Islam berpandangan demikian karena mereka meyakini bahwa apa pun yang dilakukan di dunia harus sesuai dengan tuntunan dari Allah SWT dan dunia bukan akhir dari kehidupan seorang Muslim. Akan ada kehidupan setelah kematian di mana setiap orang akan dimintakan pertanggungjawaban atas apa yang ia kerjakan selama hidup di dunia.  

Permasalahan yang sering muncul dalam peraturan perundang-undangan terkait hukum keluarga di Indonesia adalah tidak diterapkannya sebuah cara pandang yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu cara pandang yang menggabungkan antara sesuatu yang tampak (empiris) dan sesuatu yang tidak tampak (metafisis) sebagai landasan berpikir atau pendekatan dalam penyusunan peraturan terutama dalam penyusunan naskah akademiknya. Sehingga, pasal-pasal yang muncul tidak sesuai dengan falsafah hidup Bangsa Indonesia yang berketuhanan. 

Sebut saja RUU P-KS yang hingga kini terus menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat luas. Jika kita tengok kembali naskah akademik RUU P-KS, sebenarnya mudah sekali untuk kita dapat menemukan akar masalah dari RUU ini, yaitu pendekatan yang digunakan oleh pembentuk undang-undang tidak sejalan dengan worldview atau cara pandang 87,2 persen bangsa Indonesia. Pendekatan yang digunakan oleh RUU ini adalah pendekatan atau cara pandang feminisme. 

Pendekatan feminisme menyandarkan nilai kebenaran pada kesadaran adanya ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat atau pendekatan berperspektif perempuan. Selain itu, mereka menganggap bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan dianggap selalu memiliki relasi kuasa yang menurut Mansour Fakih (1996) ditunjukkan dengan adanya (1) Marginalisasi / proses pemiskinan perempuan, (2) Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam putusan politik, (3) Stereotipe atau pelabelan negatif, (4) Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (multibeban), (5) Kekerasan (violence), (6) Sosialisasi ideologi nilai peran gender.  Hubungan subordinat antara laki-laki dan perempuan ini dianggap paling parah terjadi dalam ruang lingkup keluarga. 

Lebih spesifik terkait pandangan feminis dalam lingkup keluarga, menurut Berger (yang dikutip dalam Misykat, 2012), hubungan seks suami istri adalah perkosaan, peran keibuan adalah perbudakan, dan semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan kekuasaan. Hal ini menyebabkan perombakan nilai-nilai dalam institusi keluarga menjadi ujung tombak bagi Feminisme menjalankan cara pandangnya. Akhirnya muncul terminologi “kesetaraan gender” untuk mewujudkan dunia yang dalam perspektif feminis tidak jahat pada perempuan.  

Salah satu polemik RUU P-KS bagi Umat Islam misalnya konsep marital rape yang disuarakan dalam RUU P-KS. Terminologi perkosaan (rape) berdasarkan pendekatan feminis menekankan pada tidak adanya sexual consent dari para pihak yang melakukan hubungan seksual. Sexual consent berakar dari konsep sexual autonomy yang menyatakan bahwa seks adalah hak mutlak individu. Sehingga marital rape diartikan sebagai hubungan seksual antara suami-istri di luar kehendak salah satunya. 

Islam tidak memandang hubungan suami-istri sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan karena adanya consent dari para pihak. Melainkan Islam memandang bahwa hubungan suami-istri merupakan salah satu dari hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya pernikahan. Hubungan suami-istri bukan dipandang sebagai pemenuhan hak hanya pada salah satu pihak melainkan pemenuhan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. 

Terhadap terminologi perkosaan, Islam memiliki konsepnya sendiri yaitu perkosaan diartikan sebagai pemaksaan berzina (pemaksaan melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan suami atau istrinya). Menurut Fajri Muhammadin (2019), pemaksaan dalam konsep perkosaan dalam Islam bukan merupakan pelanggaran terhadap sexual consent, melainkan dipandang sebagai zina (seks terlarang) yang merupakan bagian dari pidana hudud, dengan catatan korban dikecualikan karena keterpaksaan dan pelaku dapat terkena hukuman yang lebih berat. Hal ini kemudian tidak serta merta menunjukkan bahwa islam membolehkan persetubuhan suami istri dengan paksaan dan kekerasan. Akan tetapi, larangan ini juga bukan berasal dari prinsip sexual consent melainkan berasal dari kewajiban berbuat ihsan.

Inilah mengapa sekilas pendekatan feminisme terlihat baik dan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Namun, feminisme dan Islam adalah dua bus yang jalan bersama tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Goal akhir bagi feminisme adalah terciptanya kebebasan bagi perempuan sebagai manusia. Penitikberatan konsep feminisme kepada perempuan sedikit banyak hampir sama dengan konsep humanisme yang menitikberatkan orbit pada manusia yang bahkan dapat melebihi Tuhan yang menciptakannya. Hal ini bertentangan dengan Islam yang menitikberatkan ukuran benar salah berdasar apa yang dikehendaki dan apa yang sudah ditentukan Allah SWT.  

Pendekatan Islamic Worldview menjadi jalan keluar bagi pertentangan dalam politik hukum keluarga di Indonesia yang di satu sisi memang membutuhkan perlindungan tapi pada sisi yang lain ada hak serta kewajiban yang harus dipenuhi dan dijaga. Islamic Worldview dapat memberikan pendekatan dalam pembentukan sebuah peraturan yang bersumber pada nilai-nilai ketuhanan sebagaimana Pancasila dan UUD 1945 tanpa harus merusak nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Terlebih, institusi keluarga bagi umat Islam memang bukan hanya sebuah institusi yang lahir berdasarkan perikatan. Akan tetapi, juga merupakan ibadah seumur hidup yang bertujuan untuk bahagia dalam kehidupan di dunia dan kehidupan yang kekal yaitu akhirat. 

*Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement