Ahad 15 Nov 2020 00:42 WIB

BKPM: Pandemi Picu Tren Deglobalisasi

Pandemi membuat negara mengutamakan kegiatan usaha dalam negeri.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Dwi Murdaningsih
Aktivitas ekspor impor (ilustrasi).
Foto: bea cukai
Aktivitas ekspor impor (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menilai, pandemi Covid-19 telah menyebabkan tren deglobalisasi banyak negara. Tapi, tren juga menunjukkan, beberapa negara memilih memperbanyak lokasi produksinya untuk memberikan rasa keamanan.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot menjelaskan, selama masa pandemi, banyak negara mengutamakan kegiatan usaha dalam negeri untuk memenuhi rantai pasok industri.

Baca Juga

Penyebabnya, sebanyak 938 perusahaan Fortune 1.000 mengalami disrupsi supply chain pada awal pandemi. Mereka memiliki penyuplai yang berlokasi di Wuhan, Cina, tempat pertama penyebaran virus Covid-19 terjadi. "Ini sebabkan rantai pasok global jadi terganggu," tutur Yuliot dalam Webinar Indonesia Economic Outlook 2021, Sabtu (14/11).

Berdasarkan riset Institute for Supply Management (ISM), sebanyak tiga dari empat rantai pasokan terdisrupsi pandemi.

Di sisi lain, Yuliot menambahkan, tren diversifikasi terus terjadi. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina turut memberikan dampak. Perang dagang menyebabkan banyak perusahaan yang memiliki basis produksi di Cina hengkang atau merelokasi pabriknya ke negara lain.

Yuliot mengatakan, terpilihnya Joe Biden sebagai presiden terpilih AS memberikan secercah harapan terhadap pelunakan perang dagang. Sinergi ekonomi antar negara diharapkan dapat berjalan membaik.

Tapi, tren diversifikasi belum tentu mereda. Pasalnya, Yuliot menjelaskan, Cina mulai kehilangan keunggulan dan daya saingnya dibandingkan negara-negara ASEAN. Dampaknya, banyak perusahaan dunia kini mulai melirik untuk memperbanyak lokasi produksinya dengan menambah lokasi baru di Asia atau dikenal dengan strategi China Plus One.

"Jadi, perusahaan-perusahaan tidak menaruh telur di satu keranjang saja," ucapnya.

Berkaca dari tren ini, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk ‘menangkap’ investasi yang pergi dari Cina. Hanya saja, menurut Yuliot, Indonesia masih memiliki berbagai tantangan. Di antaranya ditunjukkan dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih di level 6,6, lebih tinggi dari negara tetangga seperti Thailand (4,4) dan Malaysia (4,5). Artinya, tingkat inefisiensi perekonomian Indonesia masih tinggi.

Selain itu, kinerja logistik Indonesia masih tertinggal. Peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia pada tahun lalu ada di 46, dibandingkan Malaysia (41) dan Vietnam (39). Indeks Persepsi Korupsi pun masih cukup tinggi Indonesia, yani di urutan ke-85 dari 180 negara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement